Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan proyek waste to energy atau sulap sampah menjadi listrik yang saat ini didorong pemerintah bersama BPI Danantara sebetulnya sudah dimulai sejak 11 tahun lalu. Namun perjalanan proyek ini banyak mengalami masalah sehingga belum memberikan hasil nyata.
"Dalam 11 tahun itu, kalau saya tidak salah saya cek, hanya ada 3 izin atau 3 kesepakatan yang bisa berjalan. Ada 1 di Surabaya, 1 lagi di Solo, Solo sekarang nggak jalan. Saya terakhir ke Surabaya juga tidak bisa berjalan dengan baik. Jadi 11 tahun cuma 3," kata Zulhas dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 di Audiotorium Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).
Menurutnya penyebab utama mandeknya pengembangan proyek pembangkit listrik bertenaga sampah ini dikarenakan proses perizinan dan birokrasi yang sangat panjang dan berbelit. Sebab proses perizinan ini melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda) dan berbagai Kementerian/Lembaga terkait misalkan saja Kementerian ESDM hingga Lingkungan Hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi jika pembangkit listrik itu sudah benar-benar berjalan, pemerintah daerah terkait masih harus membayarkan biaya pengirim sampah ke fasilitas pembangkit yang dikenal dengan istilah tipping fee. Biaya tersebut tentunya dibayarkan dengan dana dari APBD yang tentu membutuhkan persetujuan dari DPRD, alhasil proses perizinan semakin panjang dan lama.
"Kenapa 11 tahun tidak berhasil? Karena prosesnya rumit, ruwet, dan berputar-putar. Kita sebut dengan kerja sama Pemerintah Daerah, Pusat, dan PLN. Pemda nanti ikut membayar yang dikenal dengan tipping fee. Tipping fee itu harus ada persetujuan DPRD, Bupati atau Walikota setiap tahun. Berarti kalau DPRD-nya berubah, bisa berubah lagi," jelas Zulhas.
"Belum lagi pengusahanya masih berharap tipping fee-nya disetujui, yang tidak sedikit jumlahnya. Jawa Timur itu kalau nggak salah Rp 110 miliar lebih. Anggaran yang terbatas seperti sekarang misalnya, itu akan sulit sekali. Dalam proses mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah itu tidak mudah. Kalau dia di 2 Kabupaten gabungan, itu juga harus ada persetujuan dari pemerintah provinsi," sambungnya.
Menurutnya kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang sudah lama memanfaatkan fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah ini. Di mana negara-negara itu memiliki proses perizinan yang mudah dan cepat.
Oleh karenanya, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, guna mempercepat proyek waste to energy di Indonesia terlaksana.
"Kita masih sibuk urusan perizinan yang tidak ada kepastian. Inilah sesuatu yang kita pangkas. Maka lahirlah Perpres 109. Semua yang tadi itu dipangkas," tegasnya.
(igo/fdl)










































