Ada Riba Dalam Diskon Uang Elektronik?

Ada Riba Dalam Diskon Uang Elektronik?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 22 Mar 2019 08:04 WIB
1.

Ada Riba Dalam Diskon Uang Elektronik?

Ada Riba Dalam Diskon Uang Elektronik?
Foto: Tim Infografis Zaki Alfarabi
Jakarta - Metode pembayaran kini semakin berkembang. Misalnya membayar dengan uang elektronik. Banyak diskon dan promo yang diberikan oleh penyelenggara.

Namun, ada kalangan yang menyebut jika diskon dalam uang elektronik mengandung unsur riba. Benarkah ada unsur tersebut? Berikut berita selengkapnya:
Ahli Fikih Muamalah Oni Sahroni menjelaskan setiap diskon yang diberikan oleh penjual jasa atau perusahaan kepada pembeli jasa (customer) itu diperbolehkan karena terjadi dalam transaksi jual beli jasa.

"Transaksi ini diperbolehkan karena terjadi dalam jual beli jasa dan bukan utang piutang, seperti halnya pemilik kontrakan memberikan diskon kepada penyewa," kata Oni saat dihubungi detikFinance, Rabu (20/3/2019).

Ia melanjutkan, dalam pembayaran jasa transportasi online misalnya, penggunaan uang elektronik hanya alternatif dari uang tunai. Selain itu, nilai uang yang dimasukkan dalam saldo uang elektronik memiliki nilai yang sama sehingga tidak mengandung unsur riba.

"Ini perusahaan jasa transportasi online (yang diwakili driver) mengantarkan customer-nya dan sebagai imbalan customer membayar dengan saldo atau tunai," jelas dia.


Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 20 tahun 2018, uang elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit
- Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip;
- Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut
- Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.

Merujuk definisi di atas, uang elektronik dibagi menjadi dua yakni uang elektronik berbasis chip. Uang elektronik jenis ini umumnya berbentuk kartu seperti e-money, flazz dan brizzi.

Jenis kedua yakni uang elektronik berbasis server. Uang elektronik jenis ini biasanya berbentuk aplikasi seperti GoPay, Ovo hingga LinkAja.

Pantauan detikFinance, perbincangan uang elektronik berbasis server seperti GoPay dan Ovo sebagai riba mulai ramai dibicarakan sejak akhir tahun lalu.

Sejumlah akun personal di Facebook tampak mulai memposting kajian berkenaan dengan GoPay, Ovo dan uang elektronik lainnya. Salah satunya akun Sarah Rahmadhani yang membuat unggahan pada 28 September 2018. Unggahan tersebut berisi 4 poin besar mengenai uang elektronik bisa dikatakan riba.

"Jadi Riba nya bukan hanya karena ada saldo mengendap, Tapi KARNA ada saldo, maka dia BERHAK mendapat diskon," demikian bunyi simpulan unggahan tersebut seperti dikutip detikFinance, Kamis (21/3/2019).

Unggahan itu telah dibagikan sebanyak 46 kali dan telah direspons oleh 209 orang.

Unggahan serupa juga dibuat oleh akun Dr. Sufyan Baswedan, M.A. Dalam unggahannya ia melampirkan 5 buah foto berisi fatwa tentang haramnya diskon uang elektronik yang dikeluarkan oleh Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad. Unggahan tanggal 28 Agustus 2018 tersebut telah dibagikan sebanyak 817 kali dan direspons oleh 790 orang.

"Hukum memakai Go-Pay pada asalnya adalah Halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun tambahan manfaat lainnya, karena hal itu yang menjadikannya Riba," bunyi poin 4 fatwa tersebut.

Pandangan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa diskon atau potongan harga pada uang elektronik dianggap sebagai manfaat tambahan yang timbul dari utang. Dan, setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat bagi pemberi pinjaman hukumnya adalah riba.

"Akad top up Go-Pay adalah akad hutang seperti deposito uang di bank, maka diskon harga yang didapatkan konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba," bunyi poin 3 fatwa tersebut.

Berdasarkan PBI 20/2018, uang elektronik di Indonesia dibagi menjadi dua yakni uang elektronik berbasis chip. Uang elektronik jenis ini umumnya berbentuk kartu seperti e-money, flazz dan brizzi.

Jenis kedua yakni uang elektronik berbasis server. Uang elektronik jenis ini biasanya berbentuk aplikasi seperti GoPay, Ovo hingga LinkAja.


Pengamat ekonomi syariah, Adiwarman Karim menjelaskan promo dan diskon yang diberikan sebaiknya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda. Jadi bukan penyelenggara e-money.

Menurut dia saat ini regulasi atau aturan Bank Indonesia (BI) tidak mengenal promo dan diskon ini. Namun saat ini penyelenggara uang elektronik yang kerap memberikan diskon seperti GoPay dan OVO sudah mendapatkan izin dari BI.

"Promo dan diskon dapat saja dilakukan oleh sister company, misalnya perusahaan seperti GoJek atau Grab. Jadi bukan perusahaan yang bukan penyelenggaranya," ujar Adiwarman saat dihubungi detikFinance, Kamis (21/3/2019).

Adiwarman juga menjelaskan fatwa DSN tentang e-money akan memastikan perlindungan kepada konsumen. Misalnya financial protection, jadi dalam hal e-money berbasi kartu, jika kartunya hilang maka uang konsumen tidak boleh hilang.

Selanjutnya sharia protection. E-money tidak boleh digunakan untuk transaksi yang haram. Lalu rekening yang digunakan adalah rekening bank syariah.

Kemudian protection of excessive charges. Bila top up dilakukan on us, maka tidak ada charge yang dikenakan.

"Untuk meyakinkan masyarakat, selain self proclaim, dianjurkan agar penyelenggara e-money meminta kepastian aspek syariahnya dari DSN MUI. Sehingga ada dewan pengawas syariah yang mengawasi," jelas dia.

Hide Ads