Uang kripto (cryptocurrency) seperti bitcoin hingga dogecoin tak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan aset digital tersebut hanya diakui sebagai komoditas.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, pertama sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah rupiah.
"Jadi satu-satunya alat pembayaran yang sah adalah rupiah sehingga aset kripto bukan alat pembayaran, bukan uang," kata dia dalam webinar, Sabtu (19/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, jika menelisik Undang-undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, pada pasal 1 ayat 2 disebutkan definisi komoditi adalah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari komoditi, yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya.
Lanjut dia, aset kripto lebih pas disebut sebagai komoditi. Sebab, karakteristik komoditi harganya fluktuatif, sama seperti koin digital yang harganya naik dan turun.
"Mau emas, mau perak, apapun kalau barang tambang itu pasti fluktuatif. Emas pernah naik tinggi hampir mencapai Rp 1 juta per gram tahun lalu tiba-tiba bisa turun juga menjadi Rp 700-800 ribu 2 bulan berikutnya. Jadi sifat dari komoditi itu adalah fluktuatif, kopi juga begitu, apapun itu yang namanya komoditi sifatnya fluktuatif," jelasnya.
"Jadi jelas aset kripto di Indonesia dikategorikan sebagai komoditi bukan sebagai alat pembayaran," lanjut Wisnu.
Tak hanya itu, dia menjelaskan uang kripto tidak bisa diintervensi pemerintah. Jadi aset digital ini muncul dari teknologi blockchain yang diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi pemerintah, maupun campur tangan orang lain.
"Jadi ini murni harga terbentuk antara demand dan supply atau permintaan dan penawaran. Ini terjadi di tingkat nasional dan global. Jadi tidak ada intervensi," tambahnya.