Jakarta - Layar tancap merupakan hiburan masyarakat yang masih eksis. Film seluloid 35mm yang menjadi nadi pertunjukan layar tancap ini seakan harta karun tak ternilai.
Picture Story
Film Seluloid Kembali Berputar Tak Lekang Dimakan Zaman
Jumat, 10 Des 2021 12:00 WIB

Bicara soal industri layar tancap tidak lepas dari keberadaan peralatan dan film seluloid 35mm yang menjadi nadi pertunjukan layar tancap.
Β
Siang itu wajah Nur Iyan (48) tahun tampak bersemangat dirumahnya dikawasan Pondok Benda Pamulang Tanggerang Selatan dengan sangat ramah menujukkan koleksi film yang ada digudangnya yang berjumlah sekitar 400an judul film seluloid 35 MM dari produksi 1977 sampai 2012.
Β
Banyak penyewa film datang dari berbagai daerah di Jabodetabek datang kerumahnya. Hampir setiap malam ada pelanggan datang untuk menyewa film kecuali di malam jumat karena memang tidak ada layar tancap.
Β
Harga sewa film 35 mm bervariasi ada mulai Rp 80.000 hingga Rp 200.000 yang termahal adalah koleksi film India. Bagi penikmati film jadul banyaknya koleksi film 35 mm milik Nur Iyan seakan melihat harta karun tak ternilai.
Β
Nur Iyan dikenal sebagai pemilik koleksi film Seluloid terbanyak di Tanggerang Selatan. Bisnis penyewaaan film 35 mm untuk proyektor layar tancap miliknya beberapa pekan terakhir telah berangsur pulih.
Β
Seiring dilonggarkannya aturan PPKM membuat masyarakat kembali dapat melaksanakan hajatan dan menyewa film layar tancap sebagai hiburan. Hal ini membuat jasa penyewaan film seluloid kembali bergeliat.
Β
Film 35 MM koleksi Nur Iyan dengan judul kereta api terakhir yang bercerita tentang perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1947 yang diproduksi tahun 1981 oleh Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN)Β dilakukan restorasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) pada tahun 2019.
Β
Perkenalan Nur Iyan dengan film seluloid bermula saat masih kecil. Berawal dari hobi, dia memilih menyambung hidup dengan menyewakan film dan proyektor 35 mm di tengah derasnya arus digital.
Β
Dari hasil menyetir angkot, Ian pertama kali membeli satu set lengkap proyektor 16 mm seharga Rp 5 juta dan sekitar 4 sampai 5 judul film pada tahun 2003. Ia memulai bisnis layar tancapnya.
Β
Pada 2005, Nur Iyan membeli lagi mesin proyektor 35 mm tahun 1992. Koleksi filmnya lambat laun mulai bertambah. Pemasukan hasil sewa proyektor, film seluloid dan sopir angkot, Ia gunakan untuk menambah koleksi film yang dibeli dari orang-orang yang berkecimpung di dunia film.
Β
Dari perantara produser film, biasanya Nur Iyan mendapatkan dapat reel (rol) film itu.
Β
Pada tahun 2017, Iyan memutuskan untuk menjual mobil angkotnya. Hasil jual mobil digunakan untuk membeli film lagi agar jumlah koleksinya terus bertambah.
Β
Sebab, harga satu film terbilang mahal. Satu judul film luar negeri berkisar Rp 1 juta. Satu film bisa membutuhkan 5 reel film. Nur Iyan memiliki ruangan penyimpanan khusus reel-reel film itu.
Β
Setiap harinya Nur Iyan melakukan perawatan terhadap film seluloid nya dengan memeriksa kondisi filmnya secara teliti. Tangan cekatan dan mata yang tajam melihat film seluloid yang berjalan diatas rol jika ada yang rusak atau retak segera diperbaiki dengan dipotong dan ditambal kembali.
Β
Usai diperbaiki film kemudian dinyalakan dengan menggunakan proyektor untuk memeriksa hasilnya.
Β