Bukan Tolak, Ini Alasan Sopir Resah soal Larangan Truk Obesitas

Instansi pertama yang harus dihadirkan adalah pengusaha yang selama ini memberikan perintah saja tanpa memberikan pilihan kepada pengemudi. Kedua, dinas pekerjaan umum yang selalu menyatakan pengemudi adalah orang yang merusak infrastruktur negara. "Pengemudi ini kan cuma menjalankan perintah, kok dibilang merusak jalan," tukasnya.
Foto: Rifkianto Nugroho
Pemerintah harus melakukan analisis terhadap dua sisi, yaitu manfaat ekonomi dan manfaat keuangan. Menurutnya, di situ akan terlihat pemerintah harus kontribusi berapa di dalam ODOL ini. Misalnya untuk insentif pemotongan truk ODOL, subsidi kepada pengemudinya, dan lain-lain. Tentu ini harus ada dasarnya, karena APBN itu kan harus ada prioritas, katanya.Misalnya keluar dengan analisis manfaat ekonominya atau benefit cost ratio-nya (BCR) 2. Menurut Desmon, itu berarti pemerintah harus berkontribusi 50% terhadap semua biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari kebijakan zero ODOL ini. Tapi kalau misalkan BCR-nya hanya 1,5, pemerintah hanya wajib berkontribusi 25% dari semua dampaknya baik kepada penghasilan pengemudi, dampak terhadap kenaikan barang, dan dampak kepada pemotongan truk. Jadi, pemerintah tidak boleh lepas tangan, karena ini adalah masalah publik, tukasnya.Foto: Rifkianto Nugroho
Instansi pertama yang harus dihadirkan adalah pengusaha yang selama ini memberikan perintah saja tanpa memberikan pilihan kepada pengemudi. Kedua, dinas pekerjaan umum yang selalu menyatakan pengemudi adalah orang yang merusak infrastruktur negara. Pengemudi ini kan cuma menjalankan perintah, kok dibilang merusak jalan, tukasnya.Foto: Rifkianto Nugroho
Yang ketiga adalah Kepolisian ataupun Satlantas ataupun Kepolisian Lalu Lintas Negara Republik Indonesia sebagai penindak jalan. Menurut Sunaryo, para sopir truk selalu dikenakan pasal 307. Nggak semua pengemudi tahu terkait 307 ini seperti apa, tukasnya.Foto: Rifkianto Nugroho