Jakarta - Sopir logistik asal Lampung, Sunaryo, mengajak agar 5 instansi terkait duduk bersama dengan para sopir truk membahas masalah truk ODOL atau truk obesitas.
Foto Bisnis
Bukan Tolak, Ini Alasan Sopir Resah soal Larangan Truk Obesitas
Selasa, 25 Okt 2022 22:00 WIB

Foto: Rifkianto Nugroho
Foto: Rifkianto Nugroho
Foto: Rifkianto Nugroho
Foto: Rifkianto Nugroho
Foto: Rifkianto Nugroho
Dia menuturkan modifikasi dimensi truk itu dilakukan karena permintaan pasar yang kalau tidak dipenuhi tidak akan bisa bersaing dengan truk yang berukuran besar. Misalnya dari yang tadinya hanya memiliki panjang cuma 7 meter ditambahi menjadi 8 meter 10 centi. "Tapi saat itu hingga tahun 2021 kami tidak kesulitan untuk memerpanjang KIR. Dan ketika pemerintah menetapkan Indonesia zero ODOL 2023, kami tidak bisa KIR lagi dan membuat hidup kami jadi susah. Nah, yang seperti ini kan peril didiskusikan lagi," ujarnya.
Foto: Rifkianto Nugroho
Foto: Rifkianto Nugroho
"Kami selaku pengemudi mendukung penuh zero ODOL ini, tapi solusinya seperti apa untuk pengemudi ini harus ada," tambahnya.
Foto: Rifkianto Nugroho
Dia mengatakan pemerintah harus mencermati 2 perspektif dari angkutan barang ini. Pertama, perspektif privat yaitu kelangsungan usaha dari pengelolanya. Kedua, perspektif publik bahwa ini dampaknya kemana-mana ini termasuk inflasi, keselamatan, dan keamanan.
Foto: Rifkianto Nugroho
Misalnya keluar dengan analisis manfaat ekonominya atau benefit cost ratio-nya (BCR) 2. Menurut Desmon, itu berarti pemerintah harus berkontribusi 50% terhadap semua biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari kebijakan zero ODOL ini. Tapi kalau misalkan BCR-nya hanya 1,5, pemerintah hanya wajib berkontribusi 25% dari semua dampaknya baik kepada penghasilan pengemudi, dampak terhadap kenaikan barang, dan dampak kepada pemotongan truk. "Jadi, pemerintah tidak boleh lepas tangan, karena ini adalah masalah publik," tukasnya.
Foto: Rifkianto Nugroho