"75% kapasitas giling biji kakao di dalam negeri dikuasai perusahaan multinasional sebagian besar berasal dari Uni Eropa dan Amerika lalu ada Malaysia. Sisanya 25% adalah perusahaan lokal. Kenapa rendah? Salah satunya karena masalah dana," kata Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang saat berdiskusi terbatas tentang Kakao: Menembus Pasar Kakao Eropa di JIExpo Kemayoran Jakarta, Selasa (15/04/2014).
Askindo mencatat setidaknya ada 7 perusahaan industri pengolahan biji kakao asing:
- PT Papandayan Cocoa Industry atau Barry Calebaut kapasitas giling 120.000 ton/tahun.
- PT Asia Cocoa Indonesia-Batam dengan kapasitas 120.000 ton/tahun.
- Cargill kapasitas giling 60.000 ton/tahun.
- PT Mars Indonesia kapasitas giling 30.000 ton/tahun.
- JB Cocoa kapasitas giling 30.000 ton/tahun.
- Barry Comextra kapasitas giling 30.000 ton/tahun.
- PT Cocoa Ventures Indonesia kapasitas giling 14.000 ton/tahun.
Sedangkan perusahaan industri pengolahan kakao lokal antaralain:
- PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa) kapasitas giling 100.000 ton/tahun.
- PT Tojo Sekawan kapasitas giling 24.000 ton/tahun.
- PT Kakao Mas Gemilang kapasitas giling 6.000 ton/tahun.
- PT Mas Ganda kapasitas giling 5.000 ton/tahun.
"Jadi total kapasitas giling semua pabrik 539.000 ton/tahun. Dari jumlah itu hanya 135.000 ton biji kakao yang diolah perusahaan lokal," imbuhnya.
Selain keterbatasan dana, para perusahaan lokal juga lebih sulit mencari pasar. Hal ini disebabkan karena merek dari perusahaan industri pengolahan biji kakao asing jauh lebih dikenal dibandingkan merek perusahaan industri lokal.
"Pertama masalah nama dan brand. Kalau masih merintis nama baru masih susah. Kelemahan kita di mutu, brand image dan jaringan pasar," cetusnya
(wij/hen)