Kini sebanyak 60% pesawat berbagai tipe yang terbang di langit Indonesia harus dirawat pada fasilitas bengkel di luar negeri, termasuk Singapura.
"Yang prihatinkan kita, banyak pesawat di Indonesia. Pasar MRO di Indonesia baru serap 40%. Artinya 60% dirawat di luar negeri," kata Sekretaris Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Djoko Murjatmodjo di area Hanggar GMF, Tangerang, Banten, Senin (7/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai pembangunan fasilitas MRO baru di Indonesia harus dibangun. Alasannya selain pertumbuhan pesawat yang besar, bisnis bengkel pesawat juga akan menghadapi pasar bebas di Asia Tenggara.
"Liberalisasi MRO. Dengan ini, kita siapkan luaskan sayapnya (Anak Usaha Garuda Indonesia) ke Bintan. Kapasitas itu dapat kita rebut untuk market share di ASEAN dan Asia," sebutnya.
Ia menyambutkan potif pembangunan fasilitas MRO di area Bintan dan Batam atau di area Indonesia bagian barat. Namun Djoko menilai fasilitas perawatan mesin dan pesawat juga harus dibangun di area Indonesia bagian timur.
"Maintenance pesawat nggak cukup di Jakarta atau Bintan, di seluruh Indonesia perlu perhatian Aceh-Papua sepanjang 5.000 Km. Kalau pesawat rusak dibawa ke Jakarta butuh waktu lama, selain meluaskan sayap ke Bintan, GMF bisa lebarkan sayap ke Indonesia timur," ujarnya.
Keterbatasan fasilitas MRO diakui juga oleh Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) Emirsyah Satar. Melihat keterbatasan fasilitas MRO milik Garuda di Tangerang, membuat perseroan melalui GMF AeroAsia akan mengembangkan fasilitas MRO di Bintan Aerospace Industry Park, Kepulauan Riau.
Untuk pembukaan bengkel pesawat baru di luar area Tangerang ini, GMF menggaet anak usaha Gallant Venture Ltd, Bintan Aviation Investment (BAI).
"Kita sadari airlines di Indonesia tumbuh. Kebanyak MRO nggak bisa mengakomodir semua pesawat alhasil perawatan pesawat diambil negara lain. Ini adalah peluang untuk membangun MRO," ujarnya.
(feb/hen)











































