Butuh 30 tahun untuk pabrik gula (PG) baru berdiri di Indonesia. Setidaknya sejak 1984, hingga Juni 2014 hanya satu PG yang akhirnya berdiri yaitu PG Blora di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, milik investor swasta.
Setelah PG Blora, akan disusul oleh pabrik gula baru yang juga milik swasta yaitu PT Kebun Tebu Mas (KTM) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Namun kini, KTM belum bisa beroperasi karena masih dalam proses konstruksi pabrik.
PG Blora berlokasi di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Blora, Jawa Tengah. Lokasinya 38 km dari pusat kabupaten atau sekitar 1 (satu) jam waktu tempuh ke arah timur dari Blora.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman Kamadjaya membangun pabrik gula setidaknya sejak 2002, ketika ia membangkitkan kembali PT Industri Gula Nusantara (IGN) yang sudah 10 tahun mati. Kemudian pada 2010 ia juga mulai membangun PG Blora, Jawa dengan investasi Rp 1,7 triliun melalui PT GMM, dengan dukungan bank dan modal para pemegang saham, hasilnya pada Juni 2014, PG Blora diresmikan dan mulai uji coba produksi bulan berikutnya.
"Sejak 1984, baru ada pabrik gula lagi berbasis tebu," kata Kamadjaya di lokasi PG Blora, Todanan, Blora, Jawa Tengah, Sabtu (20/12/2014).
Pabrik ini berdiri di atas lahan 60 hektar yang bahan baku tebunya ditopang oleh para petani plasma yang mencakup 4.000-5.000 hektar lahan tebu di Blora. Para petani tebu tersebut tersebar dalam radius 35 Km, dari pabrik yang mampu mengolah 6.000 tcd (tone cane per day) atau 6.000 ton tebu per hari setara 600 ton kristal gula yang dihasilkan per hari.
Targetnya untuk tahap berikutnya, kawasan Blora bisa menopang kebutuhan 1 juta ton tebu untuk bahan baku pabrik atau 100.000 ton gula kristal atau lebih untuk setiap musim giling. Untuk saat ini dari lahan tebu yang ada di Blora seluas 5.000 hektar, dengan estimasi produktivitas per hektar 70 ton tebu, maka hanya mampu memasok 350.000 ton tebu per musim.
Pabrik gula ini memiliki pembangkit listrik (power plant) mandiri yang menghasilkan 12 megawatt (MW), rata-rata yang terpakai setiap hari hanya 8 MW atau mampu mencukupi keseluruhan operasional pabrik sepanjang hari.
Sebagai sebuah pabrik baru, GMM butuh dukungan para petani tebu untuk memberikan pasokan tebu ke pabriknya. Oleh karena itu, pihak GMM sangat memperhatikan harga jual gula petani agar mereka tetap semangat menanam tebu. Pihaknya juga mematok bagi hasil yang tinggi untuk bagi hasil gilingan tebu menjadi gula, yaitu 70% volume gula diberikan ke petani sedangkan sisanya 30% untuk pabrik.
"Pabrik memberikan jaminan. Konsep kami sedulur dan senyowo dengan petani. Petani sakit satu kami terasa," kata Kamadjaya.
Ia mencontohkan, saat ini biaya pokok produksi gula di GMM sebesar Rp 7.500 per kg, sedangkan harga beli pabrik terhadap petani hingga Rp 9.000 per kg, namun harga jual pabrik ke distributor hanya Rp 8.100-8.500 per kg. Artinya ada selisih kerugian yang harus ditanggung oleh GMM.
"Kalau secara hitungan memang tekor, tapi ini buat investasi jangka panjang, biar petani memperbaiki lahan tebunya," Kamadjaya.
Setelah beberapa bulan beroperasi, rendeman atau persentase berat batang tebu dengan hasil gula, pabrik GMM mampu menghasilkan rendemen 7,7%, atau masih tinggi daripada rendeman pabrik-pabrik gula PTPN di sekitar Jawa Tengah yang hanya 5-6%. Artinya setiap 100 Kg tebu, pabrik GMM bisa menghasilkan 7,7 Kg gula sedangkan di pabrik lainnya hanya 5-6 Kg gula.
"Pabrik GMM selain mampu membuat gula kristal putih berbasis tebu, juga bisa bikin raw sugar, dan mengolah raw sugar jadi gula rafinasi hingga Icumsa (kejernihan gula) sampai 20-25," jelas Kamadjaya.
Pabrik PG Blora sempat mengalami gangguan pada boiler atau tungku pabrik yang dibuat dari Tiongkok. Pabrik ini didukung oleh 400 karyawan yang mengoperasikan pabrik 24 jam x 7 hari per minggu, dengan waktu kerja karyawan hingga 3 shift per hari atau masing-masing 8 jam kerja per shift.
Kamadjaya mengakui, sejak beroperasi Juli 2014, pabriknya memang menggunakan raw sugar impor dari Thailand sebanyak 20.000 ton untuk proses uji coba mesin pabrik yang memang masih sangat baru sehingga butuh proses produksi yang kontinyu karena pasokan tebu masih terbatas. Sedangkan semenjak beroperasi hingga kini, pasokan tebu petani yang diolah di PG Blora baru sebanyak 130.000 ton tebu, yang nantinya akan terus ditingkatkan.
"Kalau nanti bisa saja giling 10.000 tcd (ton tebu per hari). Jadi biar nggak setop produksi," katanya
Kamadjaya menipis anggapan bahwa PG Blora hanya akan berorientasi untuk menggiling raw sugar impor. Menurutnya raw sugar impor dibutuhkan untuk mengisi suplai bahan baku ke pabrik yang pasokan tebunya dari petani masih terbatas.
Ia juga menegaskan, pabrik-pabrik modern di Indonesia memang sudah seharusnya mampu membuat raw sugar, kristal putih, dan rafinasi. Kemampuan pabrik semacam ini sudah umum di industri gula Thailand.
"Kalau kami mau giling raw sugar impor, ngapain bangun pabrik di tengah hutan? Kalau nggak giling tebu, buat apa kita bikin gilingan tebu di pabrik? Atau kalau buat rafinasi kenapa kita bangun sistem waduk di sekitar pabrik," katanya beralasan.
(hen/rrd)