Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan otomotif asal Malaysia, Proton Holdings Bhd, dengan PT Adiperkasa Citra Lestari menjadi buah bibir. Ada yang mengait-ngaitkan pola kerjasama ini seperti yang pernah dilakukan program mobil nasional (mobnas) ketika zaman Presiden Soeharto.
Pada era 1990-an, muncul PT Timor Putra Nasional yang menggandeng produsen mobil dari Korea Selatan, KIA. Program ini dipunggawai oleh Tommy Soeharto, putra bungsu Soeharto.
Namun Mantan Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengatakan pola-pola kerjasama yang memberikan pengkhususan bagi calon investor tertentu sudah tak mungkin lagi diterapkan dalam perdagangan global saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mobnas zamannya Pak Harto waktu itu dianggap diskriminatif. Kita digugat, akhirnya kalah di WTO," kata Hidayat kepada detikFinance, Senin (9/2/2015).
Pasca kekalahan di WTO, dampak lanjutannya berantai. Para kreditur yang semula bersedia mendanai proyek ini menarik kembali komitmennya. "Makanya setelah kalah di WTO, waktu program Mobnas jadi buyar," kata Hidayat.
Bagaimana dengan kerja sama dengan Proton?
Hidayat mengatakan rencana Proton untuk membangun pabrik di Indonesia sudah terjadi sejak 5-6 tahun lalu. Meskipun saat ini Proton sudah masuk Indonesia sebagai distributor penjualan mobil.
Menurut Hidayat, kerja sama perusahaan lokal dengan Proton saat ini harus disikapi positif sebagai peluang investasi yang akan masuk ke Indonesia. Asalkan berlangsung secara adil dan tidak diskriminatif.
"Proton harus dipersilakan masuk," katanya.
Meskipun faktanya memang saat ini tak mudah untuk pemain baru otomotif masuk di pasar Indonesia. Mayoritas pasar mobil di Indonesia 90% sudah dikuasai prinsipal Jepang. Namun kesempatan untuk berinvestasi membangun pabrik di Indonesia di luar Jepang masih sangat berpeluang.
"Makanya waktu saya masih Menperin, saya undang VW dan Mercy untuk masuk," katanya.
(hen/dnl)











































