Kerja sama ini dianggap akan melahirkan sebuah 'mobil nasional' (mobnas). Namun hal ini langsung diklarifikasi oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin bahkan Presiden Jokowi.
Benarkah Proton akan jadi mobnas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hidayat mengatakan, yang terpenting saat ini adalah, Indonesia membuka diri terhadap berbagai investor otomotif, terutama yang mendukung berkembangnya industri komponen lokal.
Ia sangat memahami soal rencana Proton, apalagi sejalan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berlangsung akhir tahun ini. Tentunya Proton butuh pasar, dari 600 juta penduduk ASEAN, hampir 50%-nya adalah Indonesia.
"Jadi nggak perlu diusung mobnas, nggak ada kriteria mobnas, tetapi bagaimana membangun industri komponen," kata Hidayat kepada detikFinance, Senin (9/2/2015).
Menurutnya, dengan berkembangnya industri komponen di Indonesia, maka ke depannya mayoritas komponen mobil sudah bisa dipasok dari dalam negeri. Sehingga impor komponen bisa ditekan atau diminimalisir.
Hidayat mengatakan, program Low Cost and Green Car (LCGC) atau mobil murah yang dikeluarkannya saat jadi Menteri, merupakan salah satu model yang bisa menopang berkembangnya industri komponen mobil. Dalam LCGC, disyaratkan komponen lokal minimal 85% harus dipenuhi secara bertahap.
"LCGC harus minimal 85% dalam 5 tahun, dalam 2 tahun ini kandungan lokalnya 60%. Kalau komponen sudah kita kuasai, sebagai bentuk kemandirian kita," katanya.
Mantan Ketua Kadin ini juga mengatakan, saat ini sudah tak mungkin lagi Indonesia mengusung Mobnas yang pernah diterapkan pada Zaman Presiden Soeharto. Program mobnas terkendala oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena dianggap diskriminatif dan protektif, alasannya condong pada produsen otomotif tertentu.
"Apalagi sudah ada MEA, 10 negara ASEAN sudah sepakat, menuntut tak ada lagi hal yang diskriminatif," katanya.
(hen/dnl)











































