Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai surga para pemburu tenun ikat. Salah satunya di Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT. Sebuah pulau terluar paling selatan Indonesia ini menjadi tempat asal usul tenun Rote.
Ada 7 sentra tenun ikat di seluruh Kabupaten Rote Ndao seperti sentra tenun ikat Janur Kuning di Desa Namodale dan sentra tenun ikat Della di Desa Nemberala. Di kabupaten ini, tercatat sedikitnya da 252 orang 'mama', sebutan bagi ibu-ibu perajin tenun Rote.
Pihak detikFinance berkesempatan menengok salah satu sentra tenun ikat yang berada di Kampung Sebelah Kali, Kelurahan Namodale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Sabtu (7/11/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut penuturan staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao yang menemani rombongan mengunjungi sentra ini, Stef Mbatu, Kampung Sebelah Kali termasuk sentra tenun ikat tertua yang ada di Rote Ndao.
"Ini kampung asal tenun Rote, para mama di sini turun-temurun menenun dari nenek moyangnya. Bahkan masih ada yang menenun dari kapas yang dipintalnya sendiri," ungkap Stef Mbatu.
Ragam tenun Rote baik motif asli hingga modifikasi dengan dominasi warna hitam, putih dan merah ditawarkan di kampung ini. Kain tenun yang sudah jadi dipajang dengan seutas tali yang diikatkan ke pohon lontar.

Kain dibentangkan dan dijejer menggantung di atas tali. Kampung tenun menjadi salah satu destinasi wisata favorit wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
"Wisatawan selalu kami bawa kemari. Daya tarik utama memang Pantai Nemberala dan pantai lain untuk surfing. Selain itu kami ajak melihat budaya menenun, pasti kami bawa ke kampung tenun. Di kampung Sebelah Kali ada kelompok dan koperasi perajin tenun ikat beranggotakan 46 orang," jelas Stef.
Saat itu hanya ada mama Ferni, seorang perajin tenun. Kain tenun pun tidak terlalu banyak karena sebagian besar dibawa ke pameran tenun serat dan warna alam Swarna Fest yang tengah berlangsung di Pantai Nemberala, sekitar satu jam dari kampung tenun. Para 'mama' lain pun sedang mengikuti pelatihan dan menawarkan tenunnya di sana.
Kain tenun terbuat dari benang katun, masrais dan sutra. Tenun ikat asli di kampung ini ditawarkan dengan harga lebih murah dibanding di ibu kota Provinsi NTT yaitu Kupang karena langsung dijual di lokasi perajin tenun. Hasil tenunan terlihat rapi, apik dan rapat.
Kain tenun ikat biasanya dipakai penduduk setempat saat upacara adat, penyambutan, pernikahan hingga kematian. Saat ini, kain tenun mulai memodifikasi diri seperti halnya batik, dibuat menjadi pakaian dengan model terkini. Anak-anak muda pun mulai tertarik mengenakannya.
"Kain tenun biasanya dipakai untuk acara resmi, seperti upacara adat. Penyambutan tamu juga kami pakai kain adat. Banyak wisatawan datang, tua muda mereka beli," kata Ferni.
Kampung tenun ini, tidak hanya dihuni penduduk asli Kampung Sebelah Kali. Banyak penduduk Pulau Ndao, pulau di seberang Pulau Rote pun banyak yang kemudian berpindah ke kampung ini. Pulau Ndao juga merupakan sentra tenun.
"Hampir semua mama di Ndao menenun. Saya juga dari Ndao. Nenek saya pindah ke sini," tambah mama Ferni.
Stef menjelaskan, Pulau Ndao merupakan sentra perajin tenun. Seiring berjalannya waktu, Pulau Rote makin ramai dikunjungi wisatawan. Agar tenun lebih mudah dipasarkan, para perajin di Pulau Ndao khusus menbuat tenun dan hasilnya dijual di Pulau Rote.
Perajin pun mulai mengenal penggunaan serat dan warna alami. Pulau Ndao memiliki kekhasan yaitu tumbuhan endemik yang bisa dijadikan pewarna alami seperti indigo.
"Indigo atau dalam bahasa Rote disebut Tauk hanya tumbuh di Pulau Ndao. Di sini tidak ada. Kami sudah bisa buat pewarna alam sendiri. Kalau di Namodale, kami pakai pewarna daun-daunan dari daun mangga, mengkudu, daun apa saja," ujar mama yang sudah menenun sejak duduk di bangku kelas I SMP.
Mam Ferni dan para perajin tenun lain mulai dikenalkan pada penggunaan warna dan serat alam. "Sebab banyak potensi alam tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan pewarna alam yang hanya tumbuh di Rote dan Ndao. Peminat manca juga lebih memilih pewarna alam. Disperindag beri pelatihan mengenalkan pewarna alam," kata Stef.
Mama Ferni mengaku, bisa membuat dua helai tenun lebar berukuran 200 x 120 cm. Hasilnya langsung dipajang dan dijual di kampung tersebut. Bahan-bahan seperti benang dan pewarna dibeli di Kupang. Mama Ferni masih membuat tenun dengan warna sintetis, namun belakangan lebih banyak membuat dengan pewarna alam.
"Turis asing lebih banyak cari tenun warna alam, jadi lebih banyak buat itu," imbuhnya.
Kain tenun ditawarkan dengan harga berkisar Rp 50.000-Rp 400.000. Perajin ada yang membedakan harga antara tenun warna sintetis dengan alam. Satu lembar tenun lebar warna alam ada yang menawakan dengan harga Rp 450.000.
Selamat berburu kain tenun Rote.