Kebijakan tersebut di antaranya adalah dengan menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk industri permebelan nasional.
"Kementerian Perindustrian telah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi penerapan AEC, baik melalui penyusunan dan implementasi SNI terhadap komoditi furnitur dan kerajinan, penerapan SKKNI sebagai rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian," kata Saleh saat membuka Pameran Furniture Indonesia & Mozaik Indonesia 2016, di JCC, Senayan, Jakarta, Kamis (10/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kegiatan pelatihan-pelatihan dalam rangka mengembangkan kemampuan SDM para pengrajin furnitur dan kerajinan," imbuhnya.
Selain itu, pemerintah mendorong peningkatan daya saing industri melalui beberapa program hilirisasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur industri dalam negeri, pemerintah dapat melarang atau membatasi ekspor sumber daya alam, termasuk kayu dan rotan untuk bahan baku mebel.
Setelah diterapkannya program dan kebijakan tersebut, Saleh melanjutkan, perkembangan industri furnitur nasional mengalami kemajuan yang signifikan.
"Nilai ekspor furnitur kayu dan rotan pada tahun 2012 mencapai sekitar US$ 1,4 miliar dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan mencapai sekitar US$ 1,8 miliar. Secara total pada tahun 2014 nilai ekspor furnitur kayu dan rotan nasional mencapai kurang lebih US$ 2,2 miliar," paparnya.
Diprediksi, nilai ekspor furnitur kayu dan rotan olahan dalam lima tahun ke depan mencapai US$ 5 miliar. Komposisi ekspor furnitur Indonesia dilihat dari segi bahan baku masih didominasi oleh bahan baku kayu 59,5%, metal 8,1%, rotan 7,8%, plastik 2,3%, bambu 0,5%, lain-lain 21,3%. (drk/drk)











































