Tapi moratorium dan restorasi ini ternyata berdampak negatif pada kehidupan para petani kecil yang hidup dari tanaman sawit. Peneliti Sosial Ekonomi dari LMC International, Khor Yu Leng, mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut diambil tanpa mempertimbangkan kepentingan para petani rakyat.
Para petani sawit berskala kecil tentu akan kehilangan sumber pendapatannya akibat moratorium izin dan restorasi lahan gambut. Belum ada solusi dari pemerintah untuk masalah ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berpendapat, bila petani kecil dilarang membuka lahan gambut untuk menanam sawit, maka harus ada sumber perekonomian alternatif bagi mereka. "Sektor apa yang bisa menggantikan penghasilan petani kecil dari sawit saat ini?" ucapnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, menambahkan bahwa ekspansi lahan yang dilakukan petani rakyat bahkan lebih cepat dibanding perusahaan besar. Maka dampak moratorium lebih terasa bagi mereka. Ekspansi dilakukan untuk meningkatkan penghasilan.
Dia mengusulkan agar pemerintah membantu para petani kecil ini meningkatkan produktivitas tanaman sawit supaya mereka bisa memperoleh pendapatan tambahan tanpa membuka lahan baru. Di sini peran pemerintah dibutuhkan, perlu berbagai bantuan dan subsidi untuk meningkatkan produktivitas per hektar.
"Small holder itu ingin ekspansi terus, bahkan lebih cepat dibanding korporasi, karena ingin pendapatan lebih tinggi. Kalau pemerintah ingin itu distop, berarti produktivitas harus ditingkatkan. Itu caranya bagaimana? Kalau nggak ada subsidi, nggak bisa dia," papar Joko.
Alternatif kebijakan lainnya adalah memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para petani kecil ini. Tetapi secara teknis, hal ini sulit dilakukan. "Pemerintah harus memberikan sumber pendapatan alternatif atau subsidi. Kalau diganti komoditas lain, mungkin nggak secara teknis?" pungkasnya.
(ang/ang)











































