Menurut Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, keramik impor dari China itu lebih murah karena gas untuk industrinya lebih murah dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, China dapat menjual produknya rata-rata untuk ukuran 60x60 atau 80x80 seharga Rp 75.000 per m2. Sedangkan untuk Indonesia sendiri bisa lebih mahal di atas itu.
"Di dalam negeri sendiri biaya produksinya nggak bisa segitu karena memang karena harga gas (energi). Tapi kualitasnya memang sedikit berbeda, lumayan jauh," ujar Elisa, ketika dihubungi detikfinance, Senin (5/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang kita di Jawa Barat, di Bandung, Jakarta, Tangerang, di kisaran US$ 9,1/MMBtu. Kalau di Sumatera Utara lebih mahal lagi US$ 12/MMBtu. Di China lebih murah, kalau China harga gasnya sekitar US$ 5/MMBtu," terang Elisa.
Keramik impor yang masuk Indonesia berasal dari Vietnam dan Thailand. Setali tiga uang dengan China, menurut Elisa, harga gas di Vietnam dan Thailand juga lebih murah dibandingkan Indonesia. Sehingga harganya lebih kompetitif dibandingkan produk lokal.
Selain karena harga gas, yang membuat keramik impor asal China lebih murah karena biaya pengirimannya juga murah. Elisa mengatakan, biaya pengapalan dari China ke Indonesia, misalnya ke Medan, lebih murah dibandingkan dari Jawa dikirim ke Medan.
"Biaya transportasi dari China ke Medan misalnya US$ 350-US$ 400 per kontainer. Sedangkan antar Indonesia, dari Jawa ke Medan dikenakan US$ 700-US$ 800 per kontainer," kata Elisa.
Dia menambahkan, dia khawatir akan terjadi deindustrialisasi akibat banjirnya produk impor. Alhasil, pelaku industri keramik justru lebih memilih menjadi importir karena produk impor lebih kompetitif dibandingkan lokal.
"Saya takut terjadi deindustrialisasi. Nanti orang industri di sini berubah menjadi importir. Lebih bagus datangin keramik dari China daripada produksi di sini," tutur Elisa. (hns/hns)