"Kendalanya ya teknologi pembuatan garamnya tidak sebagus yang diimpor. Kita masih tradisional. Sebetulnya teknologinya hampir sama, tapi karena di sana musim panasnya lebih banyak," ujar Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono, kepada detikFinance, Selasa (26/9/2016).
Sigit mengatakan, pembuatan garam melalui beberapa prosedur dimulai dari pembuatan landasan dan pengendapannya. Tetapi, untuk mendapatkan garam yang berkualitas garam harus diendapkan berkali-kali dan membutuhkan lahan yang luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan rata-rata petani garam memiliki lahan sekitar 0,5 hektar-1 hektar seperti di Madura dan Gresik. Namun, untuk membuat garam yang berkualitas dibutuhkan lahan yang cukup luas supaya bisa melakukan pengendapan bertingkat, yaitu sekitar 5 hektar.
"Minimal 5 hektar bisa menghasilkan garam yang bagus," kata Sigit.
Menurutnya, dibutuhkan waktu hingga 3 bulan dalam proses pembuatan garam. Namun, jika ada hujan 1 hingga 2 kali dalam waktu 3 bulan itu, maka proses pembuatan garam harus dari ulang.
"Minimal kan harus ada panas yang terus menerus selama 3 bulan, kalau ada hujan 1 kali 2 kali ya sudah nggak jadi garamnya. Harus dari awal lagi," kata Sigit.
Saat ini beberapa daerah di Indonesia sering terjadi hujan sehingga garamnya terancam gagal. Oleh karena itu, petani garam lokal akan beralih ke tambak ikan.
"Kalau sekarang itu lagi musim hujan ya pasti nggak jadi. Lahannya pasti jadi tambak ikan kan mereka kan musiman. Jadi beralih," ujar Sigit. (dna/dna)











































