Harga Gas US$ 4/MMbtu, Ini Pengaruhnya untuk Industri

Harga Gas US$ 4/MMbtu, Ini Pengaruhnya untuk Industri

Yulida Medistiara - detikFinance
Selasa, 01 Nov 2016 19:41 WIB
Foto: Yulida Medistiara
Jakarta -

Harga gas di Indonesia lebih mahal daripada di negara tetangga. Hal itu membuat daya saing industri di dalam negeri sulit berkompetisi. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memaparkan, bila harga gas bisa diturunkan, maka akan besar pengaruhnya terhadap peningkatan daya saing industri.

Ia mencontohkan, misalnya terjadi pada industri petrokimia atau rata-rata untuk amonia yang dikenakan harga gas US$ 11,8/MMbtu, harga produk yang dijual lebih mahal daripada produk impor sebesar US$ 476/ton. Sedangkan produk impor sebelum termasuk bea masuk US$ 265/ ton.

"Industri petrokimia, kalau harga rata-rata amonia ada yang dapat US$ 11/MMbtu, harga produknya 476, dan pabrik ini berhenti. Kalau misalnya harga gas turun hingga US$ 4/ MMbtu, maka harga jual produk dipatok US$ 219/ton," ujar Menperin Airlangga, di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, Selasa (1/11/2016).

Sementara itu, harga gas untuk industri oleokimia saat ini dipatok US$ 9,99/MMbtu, harga jualnya US$ 915/ton yang lebih mahal sedikit daripada produk impor yaitu US$ 905 ton. Bandingkan jika harga gas menjadi US$ 4/ MMbtu, harga produk akan turun menjadi US$ 895/ton.

Selain itu, industri baja/ logam harga gasnya dipatok US$ 7,35/MMbtu dan harga jual produknya US$ 533/ton, lebih mahal daripada harga impor sebesar US$ 492/ton. Sementara itu jika harga gas diturunkan jadi US$ 4/MMbtu maka harga jual akan turun menjadi US$ 500/ton. Ia mengatakan penurunan tersebut akan membuat pabrik Krakatau Steel kembali hidup yang sempat dimatikan.

"Makanya Krakatau Steel itu menghentikan (produksi) smelting, Indonesia itu the mother of industri nggak ada industri yang tidak butuh baja, kita bikin proyek pembangkit listrik 35.000 MW, ada proyek transmisi 46.000 Km. Kalau bagi KS, itu harga US$ 3/MMbtu bisa jalan lagi," ujar Airlangga.

Ia juga meminta penurunan harga gas untuk industri pulp dan kertas, saat ini industri menerima gas senilai US$ 10,04/MMbtu di mana produknya dijual seharga US$ 662/ton, ini lebih mahal dari produk impor sebesar US$ 632/ton. Bila harga gas diturunkan jadi US$ 4/ MMbtu, maka harga produk akan dijual US$ 622/ton.

Sementara itu untuk industri keramik, harga gas dipatok rata-rata US$ 8,62/MMbtu dengan harga produk Rp 32.927/m2, lebih mahal dibandingkan dengan produk impor yang dijual Rp 30.130/m2. Sedangkan jika harga gas diturunkan menjadi US$ 4/MMbtu maka harga produk akan turun dan berkompetitif dengan impor yang dipatok Rp 26.500/m2.

"Industri yang paling menyentuh masyarakat banyak itu industri keramik karena banyak pemainnya nggak seperti baja kertas, karena ini pemain kelas menengah, kalau industrinya US$ 8,6 cost-nya itu 32.937/m2. Nah ini kalah impor dari Cina yang Kw 2 akibatnya banyak produksi mati," ungkap Airlangga.

Sedangkan untuk industri kaca mendapat harga gas US$ 9,15/MMbtu dengan harga jual 256/ton lebih mahal daripada impor US$ 235/ton. Sedangkan jika harga gas turun menjadi US$ 4/MMbtu harga jual US$ 232/ton. Ia menyebut karena tingginya harga gas, ada industri kaca yang ditawar Malaysia untuk pindah dengan iming-iming US$ 2,5/MMbtu.

"Industri ini diminta pindah ke Malaysia ditawari gas US$ 2,5 di Malaysia. Bukan berarti nggak ada daya saing tapi industrinya di Malaysia dia produksinya bisa lebih tinggi. Akibatnya kalau nggak turun ya nggak papa pindah aja, persoalan nggak kalau industrinya pindah, persoalan lah kalau tenaga kerja dan lapangan kerja, tentu untuk devisa ekspor, dan pembangunan industrialisasi di seluruh Indonesia," imbuh Airlangga.

Terakhir, industri tekstil dan alas kaki mendapatkan harga gas US$ 12,5/MMbtu harga produk yang dijual US$ 1,33/kg, lebih tinggi sedikit daripada produk impor US$ 1,17/kg. Sementara itu jika harga gas diturunkan jadi US$ 4/MMbtu, maka harga produk dapat diturunkan menjadi US$ 1,11/kg. (dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads