Batu bara berkalori rendah itu, jika dikonversi menjadi gas sintetis dapat menghasilkan gas dimetil eter atau bisa menggantikan gas LPG. Dengan begitu, jika hal ini dikembangkan diharapkan dapat mengurangi impor bahan baku.
"Batu bara dengan kalori rendah dapat dikembangkan untuk memproduksi gas dimetil eter yang bisa menggantikan gas liquefied petroleum gas (LPG) sehingga impor bahan baku gas tidak lagi diperlukan," kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono dalam rilis yang diterima detikcom, Sabtu (14/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika dihitung, dalam masa pengujian, bisa dilakukan pengubahan 100.000 ton batu bara menjadi 3.600 million metric british thermal unit (mmbtu) gas per hari," kata Sigit.
Menurutnya, jika gas hasil gasifikasi batu bara ini tidak digunakan, maka dapat dimanfaatkan untuk dipakai industri. Harga jual gas turunan dari gasifikasi batu bara ini diperkirakan US$ 4-5 per MMBtu atau harga yang dibutuhkan agar industri berdaya saing.
"Selain potensial, investasi ini juga akan menghasilkan nilai tambah yang besar bagi industri dalam negeri karena gasnya bisa dimanfaatkan, tinggal perlu dibangun infrastrukturnya," ujar Sigit.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, pengembangan industri gasifikasi batu bara di Indonesia sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri pupuk dan petrokimia.
"Dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dan metanol. Bahkan, gasifikasi merupakan salah satu energi alternatif yang bisa digunakan untuk industri," tegasnya.
Salah satu contoh investor yang berminat untuk mengembangkan industri ini adalah perusahaan asal Jerman. Airlangga sempat bertemu dengan CEO Zemag Clean Energy Technology GmBh, Fu Minyan beberapa waktu lalu. Perusahaan asal Jerman tersebut akan melaksanakan proyek percontohan fasilitas gasifikasi batu bara di Indonesia.
"Mereka menyatakan ingin berinvestasi di sini untuk mengembangkan turunan dari gasifikasi batu bara," kata Airlangga.
Untuk itu, lanjut Airlangga, pihaknya mendorong Zemag agar bisa bekerja sama dengan perusahaan lokal dalam membangun industri gasifikasi batu bara di Indonesia. Mengenai lokasi pabriknya, pemerintah menawarkan di wilayah Kalimantan dan Sumatera Selatan.
"Pengembangan industri ini di Indonesia sebenarnya masih menarik bagi investor asing di tengah perlambatan ekonomi global," kata Airlangga.
Sementara itu, Fu mengatakan, Indonesia memiliki sumber batu bara rendah kalori yang cukup besar. Hasil pertemuan dengan pihak pemerintah, menjadi masukan untuk mengembangkan investasi di Indonesia.
"Diskusi dengan pemerintah sangat interaktif, Indonesia membutuhkan produk turunan gasifikasi batu bara bagi industri manufaktur. Saat ini, kami masih menjajaki investasi metanol dengan bahan baku rendah kalori," kata Fu.
Fu menambahkan, pihaknya sudah berdiskusi dengan pemerintah untuk mencari mitra lokal di Indonesia demi mengembangkan pabrik gasifikasi batu bara.
"Pemerintah akan bantu mencarikan perusahaan lokal di Indonesia jika investasi kami terealisasi. Teknologi yang dihasilkan, nantinya akan memberikan nilai tambah bagi industri di Indonesia," kata Fu.
Fu juga mengklaim teknologi Zemag saat ini sudah diterapkan oleh 180 pabrik pengolahan batu bara di seluruh dunia, termasuk pabrik pertama yang beroperasi sejak tahun 2000 di Jerman.
"Kami memiliki teknologi untuk mengurangi kelembaban batu bara berkalori rendah, memproses batu bara menjadi briket, hingga proses gasifikasi batu bara. Pengolahan tersebut bisa menghasilkan berbagai jenis produk turunan seperti metanol, amonia, minyak, hingga gas sintetis," kata Fu. (mkj/mkj)