"Lahan sekarang kan tercatat 450.000 hektar, yang pasti terus berkurang lahannya karena petani tebu banyak yang beralih ke tanaman lain, pendapatan tidak seberapa. Ada yang jadi real estate, tapi lebih banyak yang ganti ke tanaman lain," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun kepada detikFinance, Kamis (19/1/2017).
Menurut dia, rendahnya pendapatan petani ini lantaran tingkat rendemen yang diberikan pabrik gula (PG) BUMN rendah, rata-rata PG yang kebanyakan peninggalan Belanda ini hanya memiliki rendemen antara 6% sampai 7%. Jauh di bawah rendemen pabrik gula swasta yang di atas 10%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengasumsikan, dengan produksi tebu petani per hektar maksimal sebesar 100 ton, maka dengan tingkat rendemen rata-rata nasional saat 6%, maka didapat gula sebesar 6 ton. Setelah dibagi dengan pabrik gula dengan rasio 64:36, maka gula yang diperoleh petani adalah 3,84 ton.
"Sebanyak 3,84 ton ini dikalikan dengan harga lelang sekarang Rp 12.000/kg, petani mendapatkan pendapatan dari gula Rp 48 juta. Nah sementara modal tanam tebu, biaya tembang dan angkut, pupuk sampai sewa tanah paling murah totalnya Rp 45 juta. Untungnya berapa itu, malah ada yang sampai biayanya Rp 50 juta," jelas Sumitro.
Menurut dia, ketimbang pemerintah menekan harga gula yang berakibat petani tebu merugi, sebaiknya pemerintah merevitalisasi atau membangun pabrik gula baru milik BUMN, agar tingkat rendemen bisa naik.
"Tanam tebu itu susah. Waktunya juga setahun lebih, beda dengan tanam padi 3 bulan sudah panen. Lebih baik pemerintah bantu petani tingkatkan rendemen, itu pabrik-pabrik sudah tua tidak pernah diganti. Kalau rendemen tinggi, otomatis harga gula bisa otomatis murah," pungkas Sumitro. (idr/ang)