Curhatan Pengusaha Ayam: Kadang Untung, Sering Juga Buntung

Curhatan Pengusaha Ayam: Kadang Untung, Sering Juga Buntung

Muhammad Idris - detikFinance
Minggu, 29 Jan 2017 12:47 WIB
Curhatan Pengusaha Ayam: Kadang Untung, Sering Juga Buntung
Foto: iStock
Jakarta - Ibarat benang kusut, masalah gejolak harga ayam belum juga terurai sampai hari ini. Ketiadaan informasi antara pasokan dan permintaan daging ayam di Indonesia, membuat harga ayam masih saja bergejolak.

Ketua Umum Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (ARPHUIN), Achmad Dawami, mengungkapkan ketiadaan informasi pasokan dan permintaan jadi penyebab klasik gejolak harga daging ayam. Peternak ayam potong pun jadi pihak yang paling dirugikan dari situasi yang berlangsung puluhan tahun tersebut.

"Kalau mau harga stabil, harusnya ada sistem yang dibuat pemerintah agar informasi pasokan dan permintaan ayam itu jelas. Yang terjadi sekarang itu spekulasi pasar, karena mendengar harga turun, peternak biasanya jual ayam di harga berapa pun, harga kemudian semakin turun," ujar Dawami kepada detikFinance, Minggu (29/1/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Begitu pun pedagang, kalau dia mendengar harga ayam turun, dia enggak mau beli ayam di kandang banyak atau belinya dikurangi setengah saja. Hal-hal seperti bikin peternak juga panik, karena ayam ini kalau sudah waktunya panen harus dijual, kalau tidak dijual pakan tambah terus, tingkat kematian juga semakin tinggi. Akhirnya dijual murah," katanya lagi.

Sebaliknya, saat permintaan daging ayam melonjak tinggi dan pasokan ayam yang minim yang memicu tingginya harga, juga terjadi karena informasi keseimbangan yang tidak tersedia. Hal ini membuat konsumen akhirnya harus membayar mahal harga ayam yang dibelinya. Di sisi lain, peternak juga tak menikmati untung besar.

"Kalau permintaan sedikit harga kan pasti naik, kalau di pedagang besar biasanya ambil untung tak banyak, tapi di pedagang kecil karena jumlah ayam yang dijualnya sedikit, untuk menutup biaya harganya naik tinggi," ujar Dawami.

"Harga ayam ini yang sampai sekarang belum bisa diprediksi, kadang harga turun jatuh sekali, kadang harganya bagus. Karena masalah ketersediaan informasi supply dan demand di Indonesia belum ada yang akurat, berapa sih permintaan ayam di satu daerah, berapa suplainya, sampai sekarang belum ada," jelasnya.

Dia melanjutkan, selain ketiadaan informasi pasokan dan permintaan, kondisi perunggasan di Indonesia diperparah dengan panjangnya rantai pasok dari peternak hingga ke konsumen. Kondisi ini membuat membuat rentan harga yang cukup tinggi dari peternak ke konsumen.

"Jalur distribusi ayam dari farm (kandang) ke meja makan (konsumen) kan 5 sampai 6 rantai. Dari pengumpul, tarder besar, trader sedang, ke distributor kecil, kemudian pedagang. Di pedagang besar mungkin ambil untungnya Rp 500/ekor karena dia main banyak, di pedagang kecil kalau barangnya sedikit, dia terpaksa naikkan harga tinggi, karena yang dijual ayamnya juga sedikit," terang Dawami.

Dia mencontohkan, harga ayam hidup di peternak Jawa Barat yang memasok daging ayam ke Jabodetabek saat ini berkisar Rp 16.500/ekor untuk ayam ukuran 1-1,4 kg, dan Rp 18.500/ekor untuk ayam berukuran kisaran 1,5-1,6 kg.

"Ini untungnya tipis sekali, HPP (Harga Pokok Produksi) kan tergantung banyak hal, terutama pakan dan DOC, kalau yang sekarang HPP kisaran Rp 16.000/ekor. Tapi kalau normalnya harga ayam di kandang, harusnya yang ukuran sedang harganya Rp 17.500/ekor, kemudian yang ukuran besar Rp 19.500/ekor. Itu ayam hidup loh ya," pungkas Dawami. (idr/mkj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads