Budaya serta kebiasaan masyarakat Indonesia menjadikan perhiasan sebagai sarana penyimpan dana, membuat pertumbuhan industri perhiasan tumbuh sangat positif. Tahun lalu saat ekonomi lesu, industri perhiasan dalam negeri masih bisa tumbuh di kisaran 13%.
Direktur Utama PT Hartadinata Abadi, Ferriyady Hartadinata, mengatakan tren yang memotivasi masyarakat Indonesia membeli emas terutama untuk dandan dan alat penyimpan uang, membuat desain perhiasan tak terlalu penting. Model yang paling diburu masyarakat yakni perhiasan dengan ukuran besar, namun beratnya ringan.
"Kalau orang luar membeli perhiasan karena dia suka desainnya, artinya lebih ke fashion. Kalau kita membeli karena untuk berhias sekaligus nabung (simpan uang). Jadi perhiasan emas paling laris yang ukurannya besar-besar tapi ringan," ucap Ferriyady di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin (20/2/2017).
"Misalnya kayak mau 17 Agustus, dia mau ketemu banyak orang, dia beli perhiasan buat dipakai, setelah itu dia jual lagi. Untuk pamer istilahnya," katanya lagi.
Selain itu, kecenderungan masyarakat, terutama kaum hawa, menjadikan perhiasan yang dipakainya juga sebagai sarana penyimpanan uang yang sewaktu-waktu bisa dicairkan.
"Contohnya di daerah-daerah Pantura waduh luar biasa, pas panen banyak berbondong-bondong ke toko emas, begitu mau musim tanam, emas dijual lagi. Karena budaya, bukan larinya fashion. Daripada simpan uang di bank, mending ke toko emas," jelas Ferriyady yang telah malang melintang di industri perhiasan emas selama 27 tahun tersebut.
Tren lainnya di Indonesia, menurut dia, yakni mulai digandrunginya perhiasan yang memiliki kadar emas lebih tinggi. Ini lantaran daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah, terus mengalami peningkatan.
"Sekarang kita mulai banyak produksi perhiasan untuk 10 karat, itu biasanya untuk middle class. Kalau dulu banyak yang kadarnya 18 karat dan 14 karat. Ini karena pertumbuhan usia muda yang mulai suka fashion di kelas menengah," ungkap Ferriyady.
(idr/hns)











































