Menurut Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Tony Tanduk, ada dua persoalan yang memicu terjadinya kelangkaan garam.
Pertama, anomali cuaca yaitu curah hujan yang tinggi di daerah produsen garam, padahal saat ini masuk musim kemarau. Daerah-daerah penghasil garam itu antara lain, Madura Selatan, Cirebon, Indramayu, Pati, Rembang, Jepara, Pasuruan, dan Gresik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, pemerintah terlambat membuka keran impor. Tony menjelaskan, Indonesia butuh impor garam karena produksi lokal jauh lebih kecil dibanding kebutuhan, terutama untuk industri.
Kebutuhan garam diperkirakan 4,1 juta ton per tahun. Namun, produksi lokal hanya bisa memenuhi antara 1,7-1,8 juta ton per tahun.
"Harusnya ada pengamanan dari pemerintah karena garam itu bahan baku bukan produk jadi. Masuk pun harus diolah dulu," kata Tony.
Di sisi lain, rencana pemerintah mengimpor 75.000 ton belum mampu mengatasi masalah kelangkaan garam. Angka 75.000 ton itu hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, belum termasuk industri.
Misalnya, pengasinan ikan, penyemakan kulit, tekstil, dan pakan ternak. Tony menambahkan impor garam yang ideal hingga akhir 2017 adalah 500.000-600.000 ton. Jumlah ini sudah bisa memenuhi kebutuhan konsumsi hingga industri.
"Ini sudah termasuk untuk konsumsi, dan industri penyemakan kulit hingga aneka pangan," tutur Tony. (hns/wdl)