Biasanya, bibit untuk bahan baku memproduksi garam di darat dipasok dari Madura. Seorang petani garam di Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Aceh, Azhar (50), mengatakan, para petani di sana terpaksa memproduksi garam dengan cara alami. Padahal jika ada bahan baku, produksinya bisa meningkat hingga dua kali lipat.
"Sekarang memang tidak ada bibitnya di pasar. Kalau mahal masih bisa kita beli tapi ini enggak ada barang," kata Azhar saat ditemui di lokasi pembuatan garam, Kamis (3/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, hilangnya bahan baku pembuatan garam di kawasan Aceh Besar sudah terjadi sejak melonjaknya harga garam. Akibat tidak ada bibit, Azhar hanya mampu memproduksi garam antara 60 hingga 80 kilogram per hari.
"Kalau ada bibit bisa dua kali lipat dari itu," jelas Azhar.
Selain bibit, tidak ada terkendala dalam produksi garam. Hanya saja, jika cuaca sedang hujan dirinya dan petani garam lain tidak dapat bekerja. Setelah garam jadi, Azhar langsung membawanya ke pasar untuk dijual kepada penampung. Harga jual di pasar mencapai Rp 10.000 hingga Rp 14.000 per kilogram.
"Kalau lagi musim barat hasilnya lebih tinggi karena pengaruh matahari. Tapi kalau lagi musim timur produksi berkurang karena sering hujan airnya kurang asin seharusnya bisa pakai bibit," ungkap pria yang menjabat sebagai ketua Kelompok Tani Sira Lamnga tersebut. (hns/hns)