Mereka juga dihadapkan adanya temuan gula yang kualitasnya tidak sesuai standar sehingga terpaksa disegel Kementerian Perdagangan. Menurut petani, kualitas gula sebenarnya adalah tanggungjawab pabrik gula yang mengolah tebu milik petani menjadi gula hingga siap dibawa ke pelelangan untuk dijual.
Lantas, bagaimana proses produksi gula dari tebu petani hingga menjadi gula kristal putih?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah tebu dikirim ke PG, petani sebelumnya telah menandatangi kontrak penggilingan, dengan skema bagi hasil pasca tebu sudah digiling menjadi gula kristal putih (GKP). Umumnya sharing profit gula dari tebu petani yakni 34% untuk PG, dan 66% untuk petani.
"Giling tebu jadi gula itu tugasnya PG, petani hanya kirim tebu ke PG saja buat dibikin gula, dimana kontraknya buat mereka 34% (porsi bagi hasil penjualan gula), sisanya untuk petani. Jadi mau gulanya keluar seperti apa, sesuai kontrak kan tebu jadi GKP," terang Soemitro ditemui di Silang Monas, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Dia menyoroti kasus gula di gudang PG yang disegel Kementerian Perdagangan beberapa waktu di Cirebon. Menurutnya, kualitas gula yang di bawah SNI dengan parameter ICUMSA, jadi tanggung jawab PG. Karena proses penggilingan tebu hingga GKP sepenuhnya dilakukan PG.
"Kalau kemudian gula yang keluar masih raw sugar atau kecoklatan, itu salahnya di PG, bukan di petani. Tapi kemudian petani yang jadi korban karena gulanya kena segel," ungkap Soemitro.
Penyegelan gula seperti yang dilakukan di Cirebon, lantaran gula tersebut dianggap tak memenuhi standar layak konsumsi berdasarkan ICUMSA.
ICUMSA merupakan standarisasi mutu untuk produk gula. Semakin rendah angka ICUMSA maka menunjukkan tingkat kemurnian gula semakin tinggi. Biasanya tingkat ICUMSA bisa terlihat dari warnanya. Semakin coklat warna gulanya, semakin tinggi pula angka ICUMSA. Warna kecoklatan yang terlalu pekat bisa diakibatkan karena mesin-mesin penggilingan PG yang sudah tua, sehingga kurang optimal.
Lanjut dia, pasca tebu selesai diolah menjadi gula, maka gula yang menjadi milik petani dan PG setelah dilakukan pembagian keuntungan, dilakukan lelang yang difasilitasi PG. Lelang sendiri diikuti oleh para pedagang atau distributor gula besar.
Diungkapkannya, harga lelang saat ini dianggap petani terlalu murah, yakni di kisaran Rp 9.700/kg, padahal biaya pokok produksi gula petani tebu rata-rata Rp 10.600/kg. Untuk harga yang menguntungkan petani, kata Soemitro, setidaknya harga jual gula di lelang yakni Rp 11.000/kg.
"Harga Rp 11.000/kg menurut kita wajar, karena meski pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500/kg, masih ada margin buat pedagang Rp 1.500/kg," terang Soemitro.
Menurut Soemitro, salah satu masalah yang membuat keuntungan yang diterima petani rendah yakni tingkat rendemen yang rendah. Mesin tua dari PG yang rata-rata peninggalan Belanda lagi-lagi jadi alasannya.
Tingkat rendemen PG BUMN, kata dia, sebagian besar di bawah 7%. Hal itu menyebabkan biaya produksi gula lokal terbilang mahal. Imbasnya, untung petani dari gula yang digiling PG jadi rendah.
Sebagai informasi, rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%, artinya dari 100 kg tebu yang digiling di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.
Dia mengilustrasikan, untuk satu hektar petani tebu sama-sama keluar biaya Rp 45 juta. Kalau rendemen dari PG naik 70 ton gula kalau rendemen 9% bisa jadi gula 810 kg, sementara jika rendemen hanya 6,5 % maka dari 9 ton tebu hanya menjadi gula 585 kg gula.
"Rendemen ini selalu berbanding terbalik dengan biaya produksi. Semakin tinggi rendemen, semakin tinggi margin buat petani. Otomatis sebenarnya harga gula bisa murah sendiri kalau rendemen gula diperbaiki," pungkas Soemitro. (idr/dna)