Hadir di sana Ketua Komite Tetap Industri Logam, Mesin dan Alat Transportasi Kadin, I Made Dana Tangkas serta sejumlah pengusaha dari sektor baja dan logam lainnya. Ada juga perwakilan pemerintah dari Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM dalam acara tersebut.
Dalam kesempatan itu, Made Dana mengatakan saat ini Kadin mendorong adanya konsistensi keberpihakan kebijakan untuk membangun hilirisasi mineral tambang dan pengembangan industri logam dasar. Dia menilai RIPIN ini bisa mendorong industrialisasi bisa lebih maju, dengan pembangunan smelter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, berhasilnya hilirisasi mineral tambang ditandai dengan terserapnya produk smelter dalam negeri oleh industri hilir berbasis mineral logam, contohnya industri logam dasar.
"Tanpa adanya industri manufaktur berbasis mineral logam, maka hilirisasi mineral tambang tetap tidak akan memberikan nilai tambah yang tinggi," kata dia.
Lebih lanjut Made Dana mengatakan, saat ini industri logam masih terhambat oleh biaya produksi dan bahan baku yang masih harus diimpor. Biaya produksi industri logam dasar mengalami kendala berupa harga gas alam di Indonesia yang tinggi, yakni mencapai US$ 9,5/MMBTU.
Harga itu masih lebih tinggi dibanding Jepang dan Rusia yang hanya berkisar US$ 6,3 MMBTU, sama halnya dibandingkan dengan negara-negara di Asean.
"Ada hambatan lainnya, industri logam dasar itu awal dari program hilirisasi yang berbasis mineral logam, dan hingga kini belum diatur lebih lanjut sektor yang berwenang membuat regulasi," jelasnya.
Dia menilai, peran pemerintah melalui BUMN juga masih kurang, terutama dalam pembangunan industri berbasis logam. Meski begitu, kata Made Dana, pihaknya menilai Indonesia masih memiliki potensi dalam mengembangkan hilirisasi, contohnya industri baja.
Menurutnya, industri baja merupakan salah satu komponen utama dari industri logam dasar yang diperkirakan masih akan tumbuh hingga 6% pertahunnya sampai 2025 mendatang. Hal itu lantaran permintaan bahan baku untuk sektor konstruksi yang tumbuh 8,5%, otomotif 9,5%.
"Diperkirakan Indonesia masih harus impor sebanyak 5,4 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang mencapai 12,94 juta ton pertahun," tuturnya. (zlf/zlf)