Dirut Sritex Cerita Suka Duka Bisnis Tekstil di RI

Dirut Sritex Cerita Suka Duka Bisnis Tekstil di RI

Trio Hamdani - detikFinance
Kamis, 23 Agu 2018 09:55 WIB
Direktur Utama Sritek Iwan Setiawan Lukminto Foto: Trio Hamdani
Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex bisa dibilang sebagai salah satu bisnis tekstil terbesar di Indonesia. Berawal dari Pasar Klewer, kini sudah punya 50.000 karyawan. Untuk berada di posisi saat ini, banyak suka dukanya.

Direktur Utama Sritek Iwan Setiawan Lukminto menceritakan bagaimana suka duka yang dia hadapi dalam membesarkan bisnis tekstil bersama Sritex.

Tepatnya selama 10 tahun sejak 1998 hingga 2008, industri tekstil dilabeli sebagai sunset industri (industri senja). Dengan label tersebut, industri tekstil dianggap berisiko tinggi untuk penyaluran kredit. Akhirnya, industri tersebut sulit tumbuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Suka dukanya, sejak tahun 1998 sampai 2008 itu tekstil dikategorikan adalah sunset industry. Stigmanya adalah seperti itu oleh Bank Indonesia karena ada suatu pemain big itu nggak perform," kata Iwan dalam sesi wawancara khusus dengan detikFinance, di Jakarta, Selasa (21/8/2018).



Iwan mengatakan, stigma yang melekat selama 10 tahun itu, membuat pelaku industri tekstil sulit mendapat permodalan karena bank enggan memberi pinjaman. Dia mengatakan kondisi tersebut sangat menyulitkan pelaku industri.

Karena tak mendapat akses kredit, Iwan mengatakan industri tekstil kala itu sulit tumbuh. Padahal, jika tak ada stigma sunset industry maka industri tekstil bisa tumbuh lebih baik.

"Dampaknya ke industri ini, makanya di tahun itu kan susah growing. Kalau itu tidak ada stigma itu, Sritex itu lebih gede lagi 5 kali lipat dari yang sekarang," lanjutnya.



Terlepas dari masa masa sulit itu, Iwan mengatakan kondisi saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang dulu. Terutama karena produk tekstil Indonesia sudah jauh lebih bersaing dengan produk China.

"Dulu sama sekarang berat dulu karena persaingan di China lebih kuat di tahun 2000an, karena murah China waktu itu. Ini sekarang sudah mulai setara, lebih mahal sana malahan," tambahnya. (dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads