Menurut Ketua Umum Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) Stephanus Koeswandi, nilai plus dari impor baja memang dirasa dari sisi harga lebih murah. Namun, kata Stephanus, kondisi itu justru membunuh produsen lokal.
Dampak buruk impor baja dari luar cukup membuat industri hilir tertekan sehingga mengalami penurunan produktifitas. Bahkan kata Stephanus, ada beberapa line yang sudah mati karena tidak mampu menghadapi persaingan harga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, ARFI sebagai produsen baja lokal yang lebih mengutamakan bahan baku dari dalam negeri, meminta kepada pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, untuk mengambil kebijakan yang berpihak kepada produsen lokal.
"Kami meminta kepada pemerintah untuk bersikap tegas, mau dibawa industri baja kita? Apakah kita menjadi industri yang mengambil barang impor saja yang dari segi harga lebih kompetitif, atau kita ingin membangun industri baja lokal?" kata Stephanus dalam keterangannya, Jumat (20/7/2019).
Bukan hanya itu, masalah standar nasional Indonesia (SNI) juga menjadi persoalan. Stephanus menerangkan, masalah SNI menjadi perhatian utama, sebab ini menyangkut keamanan.
"Baja yang masuk ke Indonesia belum memiliki SNI. Kami takutkan ini akan berdampak kepada kami selaku produsen hilir. Oleh karena itu kami sangat berharap kepada pemerintah agar memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap baja yang masuk ke Indonesia," pungkas Stephanus.
(fdl/fdl)











































