Komisaris Beberkan Alasan Proyek Krakatau Steel Dipaksa Beroperasi

Komisaris Beberkan Alasan Proyek Krakatau Steel Dipaksa Beroperasi

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 23 Jul 2019 15:22 WIB
Foto: Muhammad Iqbal/detikcom
Jakarta - Proyek blast furnace atau pengolahan bijih besi menjadi hot metal sudah beroperasi dua minggu sebelum diuji coba. Komisaris Indpenden PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Roy Edison Maningkas membeberkan alasannya.

Roy menyatakan keberatannya atas proyek tersebut hingga akhirnya mengundurkan diri. Ia menyebut ada tiga faktor yang membuat proyek blast furnace ini dipaksa beroperasi.

Pertama, yakni mencegah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait molornya pembangunan proyek ini yang menyebabkan over budget atau over run sebesar Rp 3 triliun. Proyek ini awalnya sekitar Rp 7 triliun dan akhirnya membengkak jadi Rp 10 triliun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dipaksakannya beroperasinya blast furnace hanya untuk dua bulan, kemudian akan dimatikan dengan alasan jangan sampai menjadi temuan BPK," ungkap Roy di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta Pusat, Selasa (23/7/2019).


Menurut Roy, alasan tersebut tak masuk akal. Pasalnya, kalaupun ada temuan BPK seharusnya sudah sejak lama karena proyek ini sudah molor 72 bulan.

"Alasannya supaya satu tidak menjadi temuan BPK. Lah kalau nggak mau jadi temuan BPK ya dari kemarin-kemarin seharusnya. Kan sudah 72 bulan telatnya," ucap dia.

Kedua, yakni menghindari klaim dari kontraktor proyek yaitu MCC CERI (Capital Engineering and Research Incorporation Limited) apabila proyeknya tidak dioperasikan.

"Kenapa ini harus berproduksi karena nanti kita akan diklaim oleh kontraktor CERI karena apabila tidak fungsikan mereka bisa klaim ke kita itu dengan angka yang besar," terang Roy.

Menurutnya, pihak Krakatau Steel tentu bisa membalikkan pernyataan tersebut karena CERI sendiri sudah molor dalam penyelesaian proyek hingga 72 bulan dan perusahaan baja pelat merah tersebut tak pernah mengenakan denda sepeser pun.

"Sebetulnya ini tidak bisa diklaim karena satu, ini proyek telat 72 bulan salah siapa? Ya kontraktornya dong. Dan kita tidak pernah denda mereka sepeser pun," tambahnya.

Ketiga, yaitu bahan baku produksi yang dimiliki Krakatau Steel hanya terbatas untuk produksi dua bulan.

"Ketiga kita cuma punya bahan baku dua bulan, jadi hanya dua bulan kita produksi," imbuh dia.


Roy menyatakan, ketiga alasan tersebut yang digunakan sebagai bahan argumentasi Dewan Direksi Krakatau Steel terhadap Dewan Komisaris agar proyek ini dipaksa beroperasi.

"Tiga alasan itu semacam argumentasi mereka, direksi kepada komisaris kenapa itu harus jalan," pungkasnya.

Ia juga menunjukkan bahwa alasan Dewan Direksi sendiri untuk menjalankan proyek ini, padahal sudah ditentang Dewan Komisaris. Roy kemudian menunjukkan bukti perbincangan di WhatsApp dari Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dengan dirinya.

"Saya posisinya terjepit. Deputi minta dijalankan, dekom minta menunggu surat tertulis," tulis Silmy kepada Roy pada 3 Juli 2019 lalu tepatnya pukul 09.52 WIB.

Roy mengatakan, blast furnace ini pun akan merugi sekitar Rp 1,3 triliun per tahun apabila produksinya sebanyak 1,1 juta ton hot metal per tahun. Pasalnya, harga pokok produksi (HPP) slab yang dihasilkan proyek blast furnace ini lebih mahal US$ 82 per ton atau setara dengan Rp 1.148.000 (kurs Rp 14.000) jika dibandingkan harga pasar.

"Harga pokok produksi yang nanti dihasilkan itu lebih mahal US$ 82 per ton, which is kalau produksi 1,1 juta ton itu kita akan mengalami kerugian per tahun Rp 1,3 triliun," jelas Roy.


Komisaris Beberkan Alasan Proyek Krakatau Steel Dipaksa Beroperasi



(ara/ara)

Hide Ads