Dirut Krakatau Steel Buka Suara soal Proyek Terancam Rugi Rp 1,3 T

Dirut Krakatau Steel Buka Suara soal Proyek Terancam Rugi Rp 1,3 T

Danang Sugianto - detikFinance
Rabu, 24 Jul 2019 13:25 WIB
Foto: Muhammad Iqbal/detikcom
Jakarta - Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Roy Edison Maningkas mengungkapkan bahwa proyek pengolahan bijih besi menjadi hot metal atau blast furnace terancam membuat rugi perusahaan. Bahkan menurut hitungannya kerugian bisa mencapai Rp 1,3 triliun.

Roy pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Sebab dia tidak sepakat proyek yang sudah dicanangkan dari 2011 itu dijalankan.

Menanggapi hal itu, Direktur Utama KRAS Silmy Karim mengatakan, proyek blast furnace sudah dicanangkan sejak 10 tahun yang lalu. Sehingga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang strategi di era perusahaan yang lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini kan sempat delay, terus kemudian saya masuk diminta untuk menyelesaikan proyek ini dan kemudian menjalankan. Kemudian saya lihat, biasanya kalau saya masuk ditugaskan ke BUMN baru itu saya lihat temuan BPK-nya apa," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (24/7/2019).

Silmy mengatakan, saat dia masuk ada 30 temuan BPK terhadap Krakatau Steel. Kemudian perusahaan menindaklanjuti temuan itu hingga tersisa 9 temuan.


"Nah di 9 temuan ini, 4 di antaranya mengenai blast furnace. Kita kan menyikapi ini mesti bijak. Proyek ini harus selesai," ujarnya.

Lantaran tak mau urusan semakin pelik, Silmy pun berupaya untuk menyelesaikan proyek blas furnace yang masuk sebagai temuan BPK itu. Dia berpandangan jika proyek yang molor 3 tahun itu tidak dijalankan maka persoalannya semakin berat.

"Kemudian kita bicara potensi rugi. Potensi rugi gini maksudnya, misalnya dulu waktu feasibility study, harga dari pada produk yang dihasilkan cost nya misalnya US$ 400, tapi kemudian karena delay dan lain sebagainya menjadi US$ 500 misalnya, ya biayanya ada penambahan," tambahnya.

Untuk urusan potensi kerugian itu, Silmy tak ambil pusing. Menurutnya fokus pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan proyek yang sudah molor itu. Karena jika dibiarkan maka potensi kerugian akan semakin besar.

"Ya masalah nombok kan masalah proyek dulu, itu angkanya perlu dicek ulang. Nanti kalau sudah selesai baru ketahuan berapa besarnya. Pokoknya semua itu harus dijalankan secara lengkap, nggak bisa berdasarkan asumsi. Tidak ada klarifikasi dari pihak ketiga. Kan perlu ada proses menyatakan bahwa ini tidak efisien, kan harus diperiksa," tutupnya.




(das/fdl)

Hide Ads