Gas merupakan salah satu komponen terbesar dalam memproduksi keramik. Bila harga gas dalam negeri mahal maka pelaku industri sulit bersaing.
"Misalnya industri keramik. Sekarang serbuan impor banyak pak. Tanya saja asosiasi keramik, teriak-teriak mereka, dari (keramik) China," kata dia dalam sebuah diskusi di Menara Batavia, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Industri manufaktur yang investasinya besar yang tergantung dengan energi itu terseok-seok memang dengan kondisi energy cost yang begini mahal. Harga di kita itu US$ 9-12. Harga gas di negara lain cuma setengah dolar," sebutnya.
Baca juga: Duh! RI Ternyata Masih Impor Aspal |
Namun kondisi tersebut menjadi dilema karena di satu sisi industri dalam negeri tertekan, di sisi lain konsumen diuntungkan dengan harga murah.
"Kita nggak bisa salahkan mereka. Dan harga ke konsumen, konsumen yang diuntungkan sebenarnya, bukan siapa-siapa, konsumen yang diuntungkan ya karena dengan harga murah. Coba kita mau bangun rumah, kalau lihat keramik kualitas bagus harga murah pasti akan pilih itu walaupun bapak tahu itu barang bukan barang lokal," jelasnya.
Masalah yang harus dibenahi adalah sektor hulunya, di mana harga gas untuk memproduksi keramik harus diperhatikan supaya harga produk tersebut bisa bersaing.
"Begitu cari barang lokal kok harganya mahal. Nah ini kan serba salah jadinya karena kita tidak benahi di industri hulunya, hulunya dibiarkan," tambahnya.
(toy/eds)