Curhat ke Susi Garam Tak Laku, Petani Madura Coba Ekspor ke Singapura

Curhat ke Susi Garam Tak Laku, Petani Madura Coba Ekspor ke Singapura

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 22 Jan 2020 23:27 WIB
Foto: istimewa
Jakarta -

Indonesia hingga kini belum bisa lepas dari ketergantungan garam impor. Namun petani garam menjerit dibuatnya lantaran hasil produksi mereka jadi sulit terjual selama dua tahun belakangan. Mereka memperkirakan kondisi tersebut disebabkan banjir garam impor.

Para petambak garam pun sempat mengadukan masalah itu ke Susi Pudjiastuti meskipun tak lagi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

"Madura itu sejak zaman Belanda dipakai untuk lahan garam. Baru kali ini kita dimatiin. Dua tahun nggak bisa jualan," kata salah satu petani garam di Madura, Ismutajab saat dihubungi detikcom, Rabu (22/1/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat mengadukan permasalahan tersebut ke Susi Pudjiastuti, dia menjelaskan bahwa Susi tampak kesal karena melihat kondisi petani garam yang kesulitan digempur produk impor.

"Bu Susi mencak-mencak nggak karuan itu. Saat dia jadi menteri saja dia mencak-mencak lihat kok kita bisa bikin seperti yang dia impor kenapa kita nggak lakukan," sebutnya.

ADVERTISEMENT

Ismutajab memperkirakan ada sekitar 750 ribu ton garam yang belum terserap di Madura. Alhasil garam-garam petani lokal dianggurkan begitu saja lantaran sulit terjual.

"Yang tadinya saya perkirakan hanya 200 ribu ton, yang di rakyat banyak sekitar 700an ribu ton yang tidak terserap dan itu karena sudah 2 tahun nggak bisa jualan. Garam itu ditaruh begitu saja, cuma ditutupin plastik. Yang punya duit beli plastik, yang nggak cuma taruh saja pinggir jalan," terangnya.

Sementara itu dia menjamin bahwa sebenarnya kualitas garam lokal sudah bagus dan bisa bersaing dengan impor. Oleh karenanya dia menilai sebenarnya Indonesia tidak perlu impor garam.

Gara-gara impor, harga garam nasional pun anjlok. Berapa sekarang harganya?

Menurut petani garam di Madura, Ismutajab harga komoditas tersebut saat ini hanya dihargai sekitar Rp 500 per kilogram (kg). Harga tersebut sudah termasuk biaya produksi hingga ongkos logistik.

"Ada yang beli, diterima di Surabaya itu ternyata kemarin Rp 525 per kg. Komponen Rp 525 itu dipotong truk, dipotong karung, dipotong kuli. Mereka (petani) terima kurang dari Rp 250 per kilogram," kata dia saat dihubungi detikcom, Rabu (22/1/2020).

Harga tersebut anjlok cukup dalam jika dibandingkan kondisi tiga tahun lalu, tepatnya 2017. Saat itu, kata dia harga garam masih di kisaran Rp 2.450 per kg.

"Saya jual produksi saya tahun 2017 itu jual Rp 2.450 per kilogram. Sekarang garam saya hanya dihargain Rp 500 sekian," sebutnya.

Menurutnya yang paling terpukul karena jatuhnya harga garam adalah petani-petani kecil, misalnya yang cuma punya lahan 1 hektare.

"Mereka tambah merana. Garamnya dia nggak bisa diangkut, taruh di tempat, karena kalau ngangkut mesti (ada) biaya, kalau dikarungin mesti beli karung mesti biaya, sementara dia kalau jual hanya dapatnya kurang dari Rp 250 per kilogram, nggak menutup cost," jelasnya.

Sementara itu, harga garam impor dia perkirakan Rp 700 per kg. Tapi begitu masuk ke Indonesia, harganya Rp 1.000 karena ada biaya-biaya tambahan. Begitu dijual kembali oleh importir harganya bisa sampai Rp 6.000 per kg. Sedangkan harga garam lokal tetap anjlok karena tak laku.

"Contoh garam kalau dia beli (garam impor) Rp 1.000 ya, diproses sedikit, kasih yodium sedikit, dia packing itu bisa dia jual Rp 3.000 sampai Rp 6.000," tambahnya.

Akhirnya garam yang tak terserap ini malah dilirik negara tetangga.

Ironis, ketika garam yang dihasilkan petambak nasional tidak laku di negeri sendiri malah mendapat perhatian dari negara lain, yaitu Malaysia dan Singapura.

Menurut petambak garam di Madura, Ismutajab, importir dari negara tersebut meminta sampel garam produksi nasional. Kata dia mereka akan menindaklanjutinya dengan datang ke sentra produksi garam di Indonesia.

"Kebetulan saya waktu bicara sama kawan-kawan wartawan lain dibaca sama teman-teman di Singapura dan Malaysia. Mereka minta sampel, dia akan datang ke lokasi, mungkin bisa diterima di negara mereka. Justru kita yang akan ekspor ke mereka. Aneh," kata dia.

Dia menjelaskan bahwa selama ini Indonesia masih impor garam dengan alasan kualitas garam nasional belum sebagus impor.

"Selama impor itu masih ada, garam petani tidak pernah dibeli dengan alasan kualitasnya rendah," sebutnya.

Dia berharap nantinya impor tidak lagi dilakukan karena Indonesia sebenarnya bisa menghasilkan produk berkualitas. Dia mencontohkan di NTT disiapkan lahan 5 ribu hektare untuk memproduksi garam, baik oleh PT Garam selaku BUMN, maupun oleh pihak swasta.

"Itu kualitasnya lebih bagus daripada impor, nanti. Sudah di produksi tapi belum banyak karena baru mulai. Jadi kalau itu dibikin, Indonesia nggak perlu impor, sudah berlimpah, pantai kita banyak, lahan kita banyak," tambahnya.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: Petani Garam di Probolinggo Gagal Panen Akibat Cuaca Ekstrem"
[Gambas:Video 20detik]
(toy/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads