Mengintip Pengawasan Iklan Rokok dan Imbasnya ke Penerimaan Pajak

Mengintip Pengawasan Iklan Rokok dan Imbasnya ke Penerimaan Pajak

- detikFinance
Minggu, 11 Okt 2020 14:42 WIB
Pedagang asongan dan perwakilan petani menolak perayaan hari tanpa
tembakau yang jatuh hari ini. Menurut mereka, kampanye anti tanpa
tembakau berniat memberangus budaya merokok kretek yang telah
membudaya beratus-ratus tahun.
Foto: Adi Saputra
Jakarta -

Jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta (Riskesdas 2018).

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harusnya turun menjadi 5,4% pada 2019.

Ini menunjukkan pemerintah gagal mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenaikan prevalensi perokok anak salah satunya didorong faktor iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat massif menyasar anak sebagai target pemasaran. Industri rokok gencar beriklan, berpromosi dan mensponsori segala bentuk kegiatan yang disukai anak muda sehingga rokok terlihat normal dan aman. Akses rokok juga sangat mudah karena harganya murah, dijual perbatang dan dapat dibeli dimana-mana.

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok.

ADVERTISEMENT

Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).

Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok.

Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang massif, di sisi yang lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah. Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Tapi faktanya, PP 109/2012 gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Tidak adanya sanksi tegas dalam PP 109/2012 menjadikan iklan, promosi dan sponsor rokok merajalela dan industri rokok tetap leluasa menjual rokok kepada anak.

Komitmen Presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak semestinya didukung semua pihak, termasuk pemerintah daerah. Fakta di lapangan menunjukkan sudah ada beberapa pemerintah daerah memulai inisiatif melarang iklan rokok untuk melindungi anak-anak menjadi perokok.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menyatakan hingga Mei 2020 ada 16 kota/kabupaten yang telah melarang IPS rokok melalui berbagai peraturan. Adapun aturan tersebut mulai dari surat himbauan, surat instruksi, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota hingga Peraturan Daerah.

"Beberapa Pemda seperti Bogor, Sawahlunto dan kabupaten Banggai berinisiatif melarang iklan rokok dalam ruang dan melarang display atau memajang rokok di tempat penjualan untuk melindungi anak dari target industri rokok dan mencegah mereka menjadi perokok pemula," kata Lisda.

Kota Padang dan Depok malah melakukan revisi terhadap Perda KTR untuk memasukkan pasal tentang pelarangan iklan rokok.

Wali kota Bogor Bima Arya mengaku, sangat penting bagi pemerintah daerah melakukan pemetaan seberapa besar kontribusi reklame rokok terhadap seluruh pendapatan pajak daerah.

"Di Bogor, pendapatan pajak reklame hanya menyumbang 1,8% hingga 2,1% terhadap seluruh pendapatan pajak di Kota Bogor. Sehingga masih banyak sekali potensi pendapatan pajak di luar reklame rokok yang bisa dioptimalkan," ucap dia.

Di Bogor, jumlah reklame rokok berkurang dari 382 iklan pada 2008 menjadi nol pada 2013. Namun hal itu tidak malah membuat PAD Kota Bogor meningkat dari Rp97,73 miliar pada 2008 menjadi Rp913,39 miliar pada 20018.

Hal ini karena Bapenda Bogor aktif mencari langkah-langkah progresif untuk merealisasikan terget penerimaan pajak. Di mana penerimaan pajak Kota Bogor didominasi sembilan sektor, yaitu pajak hotel/restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pajak parkir, air tanah, pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Wali Kota Sawahlunto Deri Asta mengatakan, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, telah lama memberlakukan regulasi tentang kawasan tanpa rokok (KTR).
Peraturan daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2014 itu berkomitmen mengamankan anak-anak dari paparan rokok yang merupakan zat adiktif berbahaya. Berdasarkan survei pada 2014, perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Sawahlunto masih rendah atau 31,4%.

Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat disebabkan kebiasaan masyarakat merokok di dalam rumah yang turut pula mengkontaminasi anggota keluarga. Ironisnya, kota berpenduduk sekitar 66.000 tersebut, ternyata angka perputaran uang untuk pembelian rokok selama satu tahun bisa mencapai Rp5 miliar.

Dari data survei itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto membuat Perda KTR untuk menurunkan jumlah perokok aktif, sekaligus meminimalisir geliat iklan rokok. Di sisi lain, Pemkot Sawahlunto juga melarang reklame rokok dengan mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwako) Nomor 70 Tahun 2019.

"Ini ke depan perlu evaluasi lagi. Kalau masih kurang kami bisa mengajukan Perda khusus untuk regulasi rokok di Kota Sawahlunto, tetapi langkah ini sudah sangat tepat sekali," tutur Deri.
Berkat regulasi ini, Kota Sawahlunto telah menggaet penghargaan dari Pemerintah Pusat sebagai kota layak anak tingkat Nindya pada 2019. Menurut Deri, kebanyakan yang tidak setuju dengan regulasi ini hanya pemilik toko atau warung.

Bersambung ke halaman selanjutnya.


Sementara Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Ferimulyani Hamid, mengatakan sejak I Januari 2018, tidak ada lagi iklan rokok di Kota Padang. Kalau masih ada, berarti masih menghabiskan masa waktunya.


"Semoga 2021 sudah tidak ada lagi," ujar dia dalam forum yang sama.

Dia menyampaikan hilangnya iklan rokok tidak banyak memengaruhi pendapatan daerah.
"Setelah iklan rokok itu dicabut, langsung ada iklan lain yang mengisi," katanya.

Komitmen Pemerintah Daerah melarang iklan untuk melindungi anak dari target pemasaran rokok sepatutnya didukung dan diperkuat oleh Pemerintah Pusat melalui regulasi yang memadai. Apalagi masih lebih banyak daerah-daerah lain di Indonesia yang menunggu regulasi pengendalian tembakau yang kuat untuk menjadi panduan dalam membatasi serbuan iklan rokok massif yang menyasar anak dan remaja sebagai target.

Di sinilah urgensi untuk segera merevisi PP 109/2012 karena regulasi ini belum mengatur secara tegas tentang pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok.
Plt Asdep Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK Rama Fauzi, mengatakan, berdasarkan data Susenas Maret 2018, pengeluaran per kapita sebulan masyarakat untuk rokok dan tembakau menempati daftar urutan lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein hewani, sayur, dan buah.

Untuk itu, Kemenko PMK terus mendorong upaya revisi PP 109/2012. Di antaranya melalui rapat antar K/L termasuk Menko Perekonomian pada 4 November 2019. Selain itu, Kemenko PMK juga mengirimkan surat No. B.09/DEP.III/PSH.01/11/2019 tanggal 29 November 2019 kepada Kemenkes. Serta melakukan berbagai koordinasi dengan Kemenkes melalui forum lain.

"Pelarangan iklan rokok telah masuk ke dalam agenda RPJMN 2020-2024. Pengaturan iklan rokok yang lebih ketat sudah masuk ke dalam rekomendasi revisi PP No. 109/2012. Dalam waktu dekat, Kemenko PMK akan mengadakan rapat antar K/L setelah draft dari kemenkes diselesaikan," tutur dia.

Halaman 2 dari 3
(/)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads