Industri hasil tembakau (IHT) menolak rencana kenaikan cukai tembakau di 2021. Hal itu dinilai tidak akan efektif menaikan penerimaan negara dan hanya membuat rokok ilegal bermunculan karena harga rokok yang tinggi.
"Seluruh anggota formasi merasa berat jika tarif cukai naik. Kenaikan tarif cukai tidak akan efektif terhadap penerimaan negara. Sebab selama ini peredaran rokok ilegal semakin marak. Kalau tarif cukai naik, ini malah memberi rongga kepada pelaku ilegal untuk giat produksi," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), JP Suhardjo dalam keterangan resmi yang dikutip detikcom, Minggu (22/11/2020).
Suhardjo minta pemerintah melindungi pabrikan menengah kecil sebelum mengeluarkan kebijakan. Jika ada pertimbangan target penerimaan negara, pihaknya minta sasarannya bukan hanya rokok saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenaikan tarif cukai memberatkan industri rokok. Untuk itu idealnya tarif cukai tetap, itu lebih baik. Tidak dinaikan. Apalagi karena ini masa COVID, semua kena pengaruhnya. Semua sektor lesu. Kalau tarif cukai naik, saya tidak tahu lagi, bisa semakin banyak yang gulung tikar," jelasnya.
Jika pemerintah tetap naikan cukai rokok, dia menilai akan muncul efek berantai. Sebab, rencana kenaikan cukai ini tidak hanya merugikan industri tetapi juga petani.
"Kami harapkan Ibu Menkeu Sri Mulyani bisa lebih bijaksana. Melindungi sektor tenaga kerja dan industri rokok supaya lebih berkembang," imbuhnya.
Sebelumnya Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengadakan aksi penolakan rencana kenaikan cukai di depan Istana Presiden. Tiga orang perwakilan APTI diterima oleh Kantor Sekretariat Presiden (KSP).
Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa pemerintah akan menaikan cukai rokok setelah Pilkada serentak bulan Desember. Cukai rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) tidak dinaikan. Kalau pun dinaikan, naiknya sangat minimal. Sementara rokok non SKT akan dinaikan sebesar 19%.
"Kebijakan tersebut tidak akan menolong petani. Petani tembakau tetap rugi. Sebab SKT itu pemakaian tembakaunya sangat rendah. Produksi rokok SKT itu hanya sekitar 18% dari jumlah rokok yang diproduksi di tanah air. Selebihnya rokok sigaret kretek mesin regular atau SKMR sekitar 44%. SKM light 32%. Sisanya rokok sigaret putih mesin atau SPM," kata Ketua APTI Nusa Tenggara Barat (NTB), Sahminudin.
Dikarenakan jumlah produksi rokok SKT sangat kecil, jumlah tenaga kerja dan tembakau yang terserap juga sangat sedikit. Sehingga apabila hanya rokok jenis SKT yang cukainya tidak dinaikkan, dianggap tetap merugikan petani dan industri rokok nasional.
"Cukai SKT tidak naik, cukai jenis rokok SKM, SPM dan yang lainnya naik. Sepintas itu tidak merugikan petani. Padahal sebenarnya sangat merugikan petani dan buruh indusri rokok. Orang saat ini jarang merokok SKT. Merokoknya jenis SKM. Pembelian dan pemakaian tembakau untuk rokok SKM sangat tinggi. Kalau cukai untuk SKM dan SPM dinaikan itu mematikam petani tembakau juga indsutri rokok," paparnya.
(dna/dna)