Jeritan Pelaku Industri Kecil Menengah di Tengah Pandemi

Jeritan Pelaku Industri Kecil Menengah di Tengah Pandemi

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 19 Mar 2021 10:01 WIB
Para pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) tekstil dan sarung Majalaya, Kabupaten Bandung menjerit dikala pandemi COVID-19.
Foto: Wisma Putra
Jakarta -

Sudah setahun Indonesia dihantam pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 lalu. Pandemi ini berimbas pada banyak industri besar di Indonesia yang secara langsung terkena dampaknya. Salah satu sektor yang sangat terkena imbas adalah para pelaku IKM (Industri Kecil Menengah) di sektor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil).

Sekjen Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia Widia Erlangga mengatakan dengan adanya pandemi COVID-19 ini, secara langsung berimbas kepada kemampuan produksi dari pabrikan lokal yang semakin menurun. Meski, kata dia, pada dasarnya kebanyakan dari para pabrikan lokal yang sebelumnya mengalokasikan hampir 70% total produksinya untuk pasar ekspor yang kemudian terkendala dalam proses ekspor di masa pandemi ini.

"Sehingga hasil produksinya secara terpaksa harus dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, dirasa masih tidak mampu untuk membendung kenaikan harga bahan baku dari jenis jenis tersebut. Fakta di lapangan mengungkapkan bahwa sebenarnya permintaan di pasar domestik atau lokal pun pada kenyataannya mengalami penurunan yang cukup signifikan, namun penurunan kebutuhan tersebut masih tidak dapat diakomodir dengan stok barang produksi dari pabrikan lokal di pasar lokal ataupun domestik," jelas Widia dalam keterangannya, Jumat (19/3/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal tersebut, jelas Widia, semakin di perburuk dengan kemudahan masuknya barang-barang jadi (garment) impor China dan Thailand ke Indonesia, yang mana harga jual dari barang jadi impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan hasil produksi para pelaku IKM yang terbentur tingginya harga bahan baku.

"Dalam hal ini para pelaku IKM merasa sangat kesulitan jika harus menurunkan harga barang jadi produksi mereka agar dapat bersaing dengan harga barang jadi impor yang membanjiri pasar-pasar domestik saat ini, dikarenakan kenaikan harga bahan baku secara langsung berimbas kepada tingginya biaya produksi yang harus mereka tanggung," katanya.

ADVERTISEMENT

"Hal ini juga ditambah dengan diberlakukannya aturan Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK. 010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS)/Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019 yang lalu," tambah dia.

Widia mengungkapkan, bagi para pelaku IKM sektor konveksi atau pun garment kenaikan harga bahan baku bagi mereka saat ini sudah naik hingga 30%, hal ini dirasa malah semakin mempersulit mereka dalam hal mendapatkan bahan baku bagi keberlangsungan usahanya saat ini. Beberapa jenis kain produksi lokal seperti Rayon & Katun yang digunakan oleh para pelaku IKM di sektor konveksi di kota-kota besar seperti Solo dan Bandung malah mengalami kenaikan yang sangat signifikan dengan rentang 20% sampai dengan 30% per yard nya.

"Hal ini dikarenakan, semenjak diberlakukannya kebijakan safeguard bagi bahan baku tekstil impor, terjadi ketimpangan jumlah supply dan demand terhadap jenis bahan baku kain, di mana sebelumnya untuk jenis jenis bahan baku tersebut, supply didapatkan dari hasil produksi pabrikan lokal dan juga impor, kini menjadi hanya didapat dari pabrikan lokal saja, yang mana kapasitas produksi dari pabrikan lokal tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan di pasar domestik ataupun lokal," katanya.

Kebijakan safeguard untuk bahan baku tekstil sendiri sebenarnya adalah salah satu cara yang dilakukan pemerintah guna mendongkrak produksi pabrikan tekstil lokal yang sebelumnya dikeluhkan karena dirasa jumlah impor bahan baku tekstil yang masuk ke Indonesia membuat barang hasil produksi mereka tidak dapat di serap secara maksimal oleh pasar domestik.

"Namun seharusnya dalam waktu 1,5 tahun tersebut, para produsen kain lokal diharapkan bisa menaikkan angka produksinya. Sudah bukan rahasia umum jika pada waktu sebelum diberlakukan safeguard untuk bahan baku tekstil kapasitas mesin dari para pabrikan lokal yang terpakai baru mencapai kurang lebih 50%, dan masih terdapat sisa 50% kapasitas produksi lagi, namun pada kenyataannya kapasitas produksi tersebut tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan, terkait hal ini sangat disayangkan dan dirasa perlu untuk di konfirmasi kepada para produsen lokal tersebut," jelasnya.

Karena jika kembali pada saat awal kebijakan safeguard untuk bahan baku tekstil di setujui dan dilakukan para pelaku pabrikan bahan baku tekstil lokal sudah berjanji bahwa akan memenuhi kebutuhan bahan baku di dalam negeri.

"Tetapi fakta-fakta di lapangan justru sebaliknya, ketika kebijakan safeguard telah diberlakukan, selama 1,5 tahun, kenyataannya harga bahan baku tekstil lokal bisa naik hingga 30%" katanya.

Dirjen IKMA Kemenperin Gati Wirawaningsih sendiri pernah mengungkapkan tentang adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi saat ini sehingga menimbulkan praktek kartel. Kemungkinannya sangatlah benar bahwa ada kartel bahan baku, dikarenakan dengan kurangnya supply bahan baku untuk pasar domestik atau pasar dalam negeri, sementara bahan baku tekstil impor amatlah sulit untuk didapatkan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka hal tersebut menjadi sebuah kesempatan bagi pihak-pihak tersebut untuk menaikkan harga bahan baku tekstil yang saat ini tersedia pasar domestik atau lokal.

"Terkait hal tersebut, sangat perlu ditelusuri secara seksama, siapa kah sebenarnya pihak-pihak yang dimaksud ?? Pihak-pihak yang dapat menggunakan celah dan mengambil keuntungan dari keadaan yang terjadi saat ini.Kemudian masalah permodalan yang diharapkan menjadi salah satu solusi bagi pelaku IKM untuk dapat impor mesin, dan dibantu oleh pemerintah dengan pembiayaan sebesar 25% selebihnya, sebesar 75% bisa didapatkan melalui KUR ini hanya menjadi janji manis dari pemerintah saja karena dirasakan kurang tepat, dikarenakan mayoritas dari para pelaku IKM memiliki kredibilitas yang kurang baik hingga kesulitan di terima oleh pihak perbankan, salah satu faktor terkait hal itu adalah tunggakan kredit para pelaku IKM tertunggak pasca terimbas dampak pandemi Covid-19," kata Widia.

Untuk itu, menurut Widia, peran serta pemerintah dan instansi terkait untuk menanggulangi permasalahan ini memang dirasakan harus segera dilakukan, karena khusus bagi para pelaku IKM sektor konveksi atau garment diberlakukannya safeguard untuk bahan baku mereka. Kemudian ditambah dengan adanya pandemi malah berdampak sangat besar bagi kelangsungan usaha yang mereka lakukan.

"Dalam satu tahun ini saja sudah banyak para pelaku IKM yang terpaksa harus mengurangi jumlah pekerja mereka secara besar besaran, bahkan beberapa diantaranya terpaksa untuk menutup usaha mereka, yang mana semakin memperbesar angka pengangguran saat ini, Sebagaimana kita ketahui bersama, sektor IKM adalah salah satu jenis usaha yang merupakan jenis usaha padat karya yang dapat memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar bagi sektor informal," katanya.

"Pemerintah harus bertindak cepat, karena jangan sampai kebijakan safeguard yang diambil oleh Pemerintah malah dijadikan sebagai celah oleh segelintir pihak yang memanfaatkan keadaan, dan pihak IKM yang dirugikan dari kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut diakui dilakukan sebagai bentuk perlindungan bagi industri tekstil dalam negeri dari gempuran bahan baku impor. Namun seharusnya Pemerintah juga mengkaji dan membuat suatu kebijakan yang setidaknya dapat meringankan para pelaku IKM sektor konveksi atapun garment dengan memberlakukan kebijakan safeguard bagi barang jadi impor. Sehingga harga barang produksi para pelaku IKM di sektor konveksi atau garment dapat bersaing dengan barang jadi (garment) impor yang saat ini angkanya naik semakin signifikan saat ini," jelas Widia.


Hide Ads