Kementerian Perindustrian terus berupaya meningkatkan daya saing industri nasional. Hal ini terlihat dari kinerja ekspor industri pengolahan yang terus menunjukkan tren positif di tengah pandemi COVID-19.
Agresivitas sektor manufaktur yang menembus pasar internasional pun turut mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional.
"Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif di mancanegara. Sudah banyak pelaku industri kita yang produknya menguasai kancah global," ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan tertulis, Selasa (22/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari-Mei 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai US$ 66,70 miliar. Adapun angka ini naik 30,53% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar US$ 51,10 miliar.
Dari capaian US$ 66,70 miliar tersebut, industri pengolahan berkontribusi paling tinggi, yakni 79,42% dari total ekspor nasional yang berada di angka US$ 83,99 miliar.
Lebih lanjut Agus mengatakan besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan menggambarkan adanya pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer kepada produk manufaktur yang bernilai lebih tinggi. Menurutnya, hal tersebut dapat menghindari gejolak harga komoditas primer pada ekspor.
"Oleh karenanya, Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus memacu hilirisasi industri, karena berdampak positif dan memberikan multiplier effect yang luas, termasuk dalam penerimaan devisa melalui capaian ekspor," imbuhnya.
"Kami akan tetap fokus untuk menggenjot kinerja industri berorientasi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif dan berkelanjutan. Selain itu, agar kita dapat bersaing dengan negara-negara lain, hilirisasi harus terus dijalankan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan mengoptimalkan sumber daya alam kita agar bisa bernilai tambah tinggi," katanya.
Ia juga menyampaikan kinerja ekspor selama lima bulan ini terus membaik sehingga mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 10,17 miliar. Oleh karena itu, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kinerja ekspor serta hilirisasi.
Meski demikian, Agus menegaskan kebijakan pro-investasi dan pro-ekspor perlu sejalan dengan kebijakan peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri.
"Sebagai salah satu upaya peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri, Kemenperin telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada tahun 2022," tegasnya.
Terkait hal ini, pemerintah juga mendorong sektor industri untuk memperluas pasar ekspor, khususnya pasar non-tradisional seperti ke Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Selain itu, percepatan penyelesaian perundingan dengan negara-negara potensial juga perlu dilakukan sebagai agenda prioritas.
Sebagai informasi, saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama ekonomi komprehensif dengan Australia, Korea, dan Uni Eropa. Adapun implementasi 23 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang telah ditandatangani ini perlu benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku industri di Indonesia. Salah satunya melalui IA-CEPA sebagai peluang untuk meningkatkan ekspor sektor otomotif.
(mul/ara)