Pengusaha rokok surati Presiden Joko Widodo meminta agar tarif cukai industri hasil tembakau (IHT) tidak naik pada 2022. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengungkap permintaan itu berdasarkan situasi penjualan produk IHT khususnya kretek yang terpuruk sejak tahun 2020 akibat 3 faktor utama.
Ketua UmumGAPPRI Henry Najoan mengatakan faktor pertama yakni 68% dari setiap penjualan rokok legal diberikan kepada pemerintah sebagai cukai dan pajak. Rinciannya dari 68% itu yakni kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang sangat tinggi di tahun 2020 dengan rata-rata kenaikan 23%.
"Dan Harga Jual Eceran (HJE) 35% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 136/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, serta kenaikan cukai tahun 2021 dengan rata-rata kenaikan 12,5% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau," jelas dia dalam keterangannya, Kamis (12/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faktor kedua, daya beli masyarakat turun sepanjang tahun 2020- 2021 akibat pandemi COVID-19. Henry mengatakan, kondisi turunnya penjualan rokok legal cukup drastis. Misalnya, produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) legal tahun 2020 turun sekitar 17,4% dan sampai kuartal II tahun 2021. Hingga Mei 2021 tren penurunan produksi SKM masih terjadi di kisaran negatif 7,5% dibandingkan tahun 2020.
"Hal itu sangat memukul industri karena terjadi banyak penurunan, baik dari sisi bahan baku, produksi hingga omzet," ungkapnya.
Dia memprediksi penurunan produksi tahun 2021 hingha 15%. Menurut Henry tren produksi negatif ini akan semakin memperparah kondisi IHT nasional sehingga akan berpengaruh pada penerimaan negara.
Lanjut Henry, faktor ketiga peredaran rokok ilegal meningkat pesat yang menggerus pangsa pasar rokok legal yang relatif mahal karena adanya kenaikan cukai.
"Kajian resmi kami menyebutkan bahwa peredaran rokok ilegal di pasar saat ini telah mencapai 15% dari produksi rokok nasional," imbuhnya.
Henry memandang Pemerintah Indonesia perlu belajar dari beberapa negara tetangga, seperti India, Korea Selatan, Malaysia, Kamboja, Thailand, Bangladesh yang tidak menaikan tarif cukai. Sementara pemerintah Filipina menaikan 5% sesuai kebijakan jangka panjangnya tahun 2020-2024, dan Singapura juga tidak menaikan tatif CHT.
"Kami berharap pemerintah untuk menjaga kelangsungan industri hasil tembakau nasional sebagai wujud kemandirian bangsa sebagaimana negara-negara tersebut," kata Henry.