76 Tahun Merdeka tapi Ekonomi 65 Juta Penduduk RI Masih Terbelenggu Rokok

76 Tahun Merdeka tapi Ekonomi 65 Juta Penduduk RI Masih Terbelenggu Rokok

Tim detikcom - detikFinance
Minggu, 22 Agu 2021 19:30 WIB
Pemerintah akan menaikkan cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) 35% mulai tahun depan.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Sebagian rakyat Indonesia rupanya masih belum sepenuhnya bisa hidup bebas meski Indonesia telah merdeka selama 76 tahun.

Masalahnya, banyak yang tak sadar, mereka terbelenggu dampak rokok yang mengakibatkan mereka tak merdeka secara ekonomi.

Menurut catatan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), setidaknya ada 65 juta penduduk dewasa kecanduan rokok. Angka itu belum memasukkan anak dan remaja yang sudah terlanjur kecanduan nikotin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa hubungan rokok dan ekonomi rumah tangga?

Wujud nyata terbelenggunya ekonomi rumah tangga terhadap kecanduan rokok bisa dengan sangat mudah dijumpai di kala pandemi. Survey IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies) pada keluarga miskin di 5 kota menyebutkan 73,2% perokok miskin mempertahankan pengeluarannya untuk beli rokok dengan mengurangi kebutuhan lainnya.

ADVERTISEMENT

Sederhananya, mereka rela tak makan asal tetap bisa merokok.

Asisten Koordinator SEATCA di Indonesia, M Bigwanto mengungkap, kondisi ini tak lepas dari kondisi candu yang sudah terlanjur menghinggapi para perokok ini. Menurutnya, kecanduan terhadap rokok ini yang dimanfaatkan para produsen produk olahan tembakau sebagai komoditas.

"Artinya, sejak pertama perokok itu mengenal rokok, sejak saat itu mereka terjebak secara ekonomi," kata dia dalam diskusi yang digelar secara online beberapa waktu lalu.

Fakta yang menunjukkan para perokok rela memangkas pengeluaran untu kebutuhan lain demi sebatang rokok adalah buktinya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Para perokok ini, kata Big, tak sadar bahwa dirinya dimanfaatkan oleh para produsen. Ketika mereka membeli rokok, lanjut dia, bukan hanya batang rokok yang mereka bayar. Tetapi juga meliputi cukai, hingga pajak yang berkenaan dengan produksi dan penjualan rokok itu sendiri.

"Artinya apa? Artinya perokok menanggung beban ekonomi yang besar dari membeli rokok. Karena ketika rokok itu kena cukai, yang bayar itu bukan produsen tapi perokok itu sendiri sebagai konsumen," jelas dia.

Masalahnya, para perokok ini nyaris tak punya pilihan untuk lepas meski mereka sadar dirugikan secara ekonomi. Ini karena sifat adiktif pada rokok yang membuat penghisapnya kecanduan.

Ia menambahkan, kerugian ekonomi yang ditanggung para perokok tak berhenti sampai di sana. Selain harus merogoh kocek untuk membeli rokok, para perokok ini juga berisiko menanggung beban biaya kesehatan jangka panjang yang tinggi akibat kebiasaan merokok mereka.

Bila sudah begini, bukan hanya perokok itu sendiri yang menanggung akibatnya. Tak jarang, tabungan keluarga habis untuk membiayai kebutuhan pengobatan penyakit akibat rokok itu sendiri.

Di sisi lain, kondisi ini juga berisiko mengganggu kesehatan keuangan negara. Kok bisa?

Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari BPJS Kesehatan, di tahun 2017 lalu jumlah kasus penyakit yang terkait dengan rokok dan tembakau baik rawat jalan atau rawat inap mencapai lebih dari 5.159.627 kasus. Dan pada 2019 tercatat, ada Rp 5,9 triliun anggaran BPJS Kesehatan yang dipakai untuk pengobatan akibat rokok, khususnya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).

Pemerintah bukan tak tahu tentang bahaya rokok bagi perekonomian tersebut.

Buktinya, pada 2017 dan 2018, Indonesia mengalami perbaikan dalam indeks gangguan industri tembakau setelah Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan terkait Penanganan Benturan Kepentingan dengan Industri Tembakau dan mengimplementasikan pada tahun berikutnya.

Nilai Indeks Gangguan Industri Tembakau sendiri merupakan indeks untuk mengukur tingkat keberpihakan pemerintah terhadap penanggulangan konsumsi rokok. Semakin tinggi nilai indeks semakin rendah keberpihakan pemerintah pada masyarakat dibandingkan keberpihakannya pada industri tembakau.

Sayang, perbaikan di 2017 dan 2018 tadi tampaknya tak berlanjut.

Indeks Gangguan Industri Tembakau pada tahun pandemi meningkat. Hal ini dipidu antara lain karena mandegnya putusan revisi PP 109/2012 oleh tekanan penolakan industri tembakau dan kelompok pendukungnya, diikuti oleh DPR dan beberapa kementerian ekonomi dengan alasan tidak urgen karena pandemi, kontra produktif terhadap pemulihan ekonomi, mematikan petani tembakau dan PHK buruh rokok, yang berbeda dengan fakta lapangannya.

Disamping itu, pemerintah memberikan insentif relaksasi pembayaran pita cukai dan memutuskan tidak menaikkan tarif cukai jenis SKT tahun 2021 yang mendapat apresiasi industri kecil. Pemerintah juga memfasilitasi produk nikotin baru untuk mendapatkan SNI dan mengapresiasi CSR ekstra dari industri tembakau selama pandemi.

Melihat fakta-fakta di atas, Big menyarankan agar pemerintah lebih jeli dalam menyusun kebijakan terkait jebakan candu rokok di masyarakat.

Karena ia melihat, ada kontradiksi antara bunyi ps 2(1a) UU Cukai yang menyatakan Hasil Tembakau perlu dikendalikan konsumsinya karena pemakaiannya berdampak negative bagi kesehatan masyarakat dengan fakta pemberian insentif dan berbagai kemudahan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) di masa pandemi untuk mendorong peningkatan produksi.

"Pemberian insentif itu berarti mendorong peningkatan konsumsi?" tutur dia.

Big berharap, pemerintah bisa lebih memperhitungkan perlakuan istimewa yang diberikan kepada industri hasil tembakau terhadap biaya fisik maupun non fisik yang harus ditanggung oleh rakyat dan generasi mendatang.

Terakhir, ia berharap agar pemerintah membuat kode etik tata hubungan dengan industri tembakau untuk menghindari konflik kepentingan, berpedoman pada Permenpan 37/2012 tentang "Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan" yang dijabarkan secara spesifik untuk industri tembakau.


Hide Ads