Kisah Jatuhnya Takhta RI: Penguasa Gula yang Kini Tinggal Kenangan

Kisah Jatuhnya Takhta RI: Penguasa Gula yang Kini Tinggal Kenangan

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 20 Sep 2021 19:30 WIB
ilustrasi gula
Ilustrasi/Foto: thinkstock

Dampak Depresi Hebat pada perkebunan gula ialah cadangan yang sangat tinggi selama periode 1930-1931, namun harga merosot. Pada akhirnya pemerintah Belanda menyetujui pembatasan produksi yang tertuang dalam perjanjian internasional Chadbourne.

Akhirnya, banyak pabrik gula terpaksa tutup. Pada tahun 1933, hampir separuh pabrik di Indonesia tutup. Memasuki akhir Depresi Hebat di 1939, hanya tersisa 55 pabrik gula yang bertahan dan bisa beroperasi kembali dari total 180 pabrik yang ada di tahun 1930.

Kejayaan gula Tanah Air hanya kenangan saat ini. Dari tahun ke tahun, Indonesia masih mengimpor gula. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir Mei 2021, dibutuhkan gula pasir impor hingga 646,9 ribu ton. Namun, itu sebatas memenuhi kebutuhan gula untuk konsumsi saja. Sedangkan, bila ditambah dengan kebutuhan akan gula rafinasi dibutuhkan sekitar 3 juta ton raw sugar impor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia perlu impor gula karena kemampuan produksinya masih terbatas. Produksi gula konsumsi dan rafinasi dalam negeri sampai Mei 2021 baru bisa memenuhi 2,1 juta ton. Sedangkan, total kebutuhan gula sampai lebaran nanti mencapai hampir 6 juta ton artinya terjadi defisit hingga sekitar 3,9 juta ton.

"Total kebutuhannya (gula konsumsi dan rafinasi) hampir 6 juta atau sekitar 5,8 juta, kita baru memenuhi 2,1 juta," paparnya dalam rapat dengan Komisi IV DPR, 15 Maret 2021.


(acd/eds)

Hide Ads