Sebagai informasi, Perpres tersebut mengatur pemberian insentif dalam bentuk bea masuk 0% impor, PPnBM 0% dan pembebasan atau pengurangan pajak daerah untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Ini berlaku bagi impor KBLBB dalam keadaan utuh (Completely Built-Up/CBU) dan Completely Knock Down (CKD) dengan TKDN <40%.
Rachmat menambahkan, produsen EV dapat menikmati paket insentif impor hingga akhir 2025. Selanjutnya produsen wajib memenuhi ketentuan produksi EV di dalam negeri atau 'utang produksi' hingga akhir 2027, sesuai dengan ketentuan TKDN yang berlaku.
Paket insentif tambahan juga akan mendukung percepatan adopsi EV dengan menghadirkan lebih banyak pilihan variasi produk EV, dengan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Rachmat menilai saat ini opsi EV masih terbatas dan belum memenuhi permintaan pasar Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan paket insentif tambahan, produsen dapat menghadirkan lebih banyak model EV dengan harga jual kompetitif dibanding mobil konvensional.
"Melihat tren permintaan EV global yang meningkat, industri otomotif tanah air perlu bergegas bertransformasi dan menangkap peluang tren global. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk menjadi pusat produksi dan rantai pasok kendaraan ramah lingkungan di Asia Tenggara," imbuh Deputi Rachmat.
Diketahui penjualan mobil listrik global saat ini telah mencapai 14% dari total penjualan mobil global. Angka ini melonjak dari 3 juta mobil listrik di 2020 ke 10 juta mobil Listrik di 2022 (IEA, 2023).
Namun saat ini, kapasitas manufaktur EV Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Tercatat kemampuan produksi Indonesia mencapai 34.000 mobil, 2.480 bus dan 1,45 juta sepeda motor per tahun. Sementara, kapasitas produksi kendaraan listrik di Thailand mencapai 240.000 per tahun.
(ily/hns)