Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai rencana aturan kemasan rokok polos memicu pemalsuan produk-produk tembakau. Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024.
Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kemendag Angga Handian Putra menilai setiap negara mempunyai kondisi yang berbeda dari segi struktur pasar hingga perilaku konsumen. Untuk itu, kebijakan tersebut tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia.
"Karena kita juga perlu mengantisipasi penggunaan kebijakan kemasan polos makin luas padahal tadi saya sampaikan, setiap negara mempunyai kondisi yang berbeda, struktur pasar yang berbeda, perilaku konsumen yang berbeda jadi sebetulnya tidak serta merta bisa diterapkan nah ini dampak sistemiknya ini yang perlu kita antisipasi," kata Angga saat ditemui di Perle Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, dia menyebut kebijakan itu dapat berdampak pada ekspor-impor industri tembakau. Misalnya, apabila ingin ekspor dapat menghambat produksi lantaran kemasannya harus berubah. Selain itu, dia bilang dari segi biaya produksi juga meningkat karena harus mengubah desain.
Dia juga memperkirakan bahwa kebijakan tersebut memicu pemalsuan produk. Sebab, hak-hak merek dagang dihilangkan.
"Dari kemasan polos ini juga perlu diantisipasi, tapi pemalsuan produknya karena itu juga sebetulnya dari bentuk dari penghilangan-penghilangan hak dari penggunaan merek dagang sehingga pemalsuan-pemalsuan bisa terjadi dengan mudah ya," terangnya.
Dari segi impor, dia bilang Indonesia masih mengimpor beberapa produk, meskipun Indonesia menjadi produsen rokok.
"Kita perlu melihat dampak terhadap impor ya, apakah menimbulkan pembatasan, terus kalau menimbulkan pembatasan artinya nanti negara lain yang memiliki kepentingan yang besar supaya produknya tidak terhambat untuk masuk ke Indonesia. Karena walaupun kita produsen, tapi juga kita tetap impor beberapa produk terus juga dampaknya terhadap perdagangan internasional juga," terangnya.
Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Afifudin kebijakan kemasan polos tersebut juga nantinya akan membuat Bea Cukai bingung dalam penempatan pita cukai karena karena Permenkes ingin gambar Peringatan Kesehatan yang ada di kemasan rokok tidak boleh terhalang oleh apapun. Padahal pita cukai adalah salah satu penanda penting bahwa produk rokok tersebut adalah produk resmi atau palsu.
Artinya, kebijakan ini tampaknya bukan hanya menyulitkan konsumen tetapi juga menciptakan celah bagi produk ilegal tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu. Pada akhirnya, upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan ini pun tidak juga tercapai. Afif juga menjelaskan kebijakan ini seolah memberi tempat lebih bagi rokok ilegal, serta menghancurkan rokok legal.
"Hal ini jelas bahwa rancangan aturan ini berpotensi mengkhianati konstitusi, merusak hak merek dan hal berekspresi pada kemasan rokok. Secara tidak langsung rokok polosan ini, baik bagi penjual dan pembeli seolah membeli barang nista, padahal kenyataannya rokok ini adalah produk yang legal," ucapnya kepada media.
Lanjut Afif, sudah semestinya Kementerian Kesehatan tidak hanya disibukkan oleh urusan rokok semata, apalagi hanya menyoal urusan bungkus. Padahal, pesan kesehatan pada kemasan rokok sudah diatur sebelumnya dalam PP 109/2012 dengan porsi peringatan sebesar 40%, yang telah terbukti efektif menurunkan prevalensi perokok dari 9,1% pada 2018 menjadi 7,4% pada 2023, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
Namun, pihak-pihak kesehatan tampaknya tidak puas dengan pencapaian ini. Meski ukuran peringatan kesehatan telah ditingkatkan menjadi 50%, mereka juga mengusulkan kemasan polos yang melampaui ketentuan yang ada dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan kebijakan ini secara tidak langsung mengadopsi prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
Perlu dicatat bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) memberikan kontribusi signifikan kepada negara, pemerintah, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat umum, termasuk dalam sektor kesehatan.
Afif menyimpulkan bahwa penerapan kemasan polos bertujuan untuk merugikan industri tembakau di Indonesia dan mengancam pelaku industri kreatif yang bergantung pada desain kemasan. Oleh karena itu, Komunitas Kretek meminta agar pembahasan Permenkes dihentikan dan PP No. 28 Tahun 2024 dicabut.
(rrd/rrd)