Ada Aturan Kemasan Rokok Tanpa Merek, Setoran Pajak Bisa Turun Rp 95 T!

Ada Aturan Kemasan Rokok Tanpa Merek, Setoran Pajak Bisa Turun Rp 95 T!

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Sabtu, 02 Nov 2024 14:00 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik dinilai mengancam roda perekonomian negara.

Sebab menurut perhitungan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), berbagai Pasal 'bermasalah' dalam aturan itu bisa menghilangkan potensi ekonomi RI hingga Rp 308 triliun.

Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengatakan hilangnya potensi ekonomi terbesar imbas kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau kemasan polos, yakni Rp 182,2 triliun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kurang lebih kalau kemarin perhitungan kami kan hilangnya Rp 182,2 triliun (imbas aturan kemasan rokok tanpa merek)," kata Andry kepada detikcom, seperti ditulis Sabtu (2/11/2024).

Tidak hanya kehilangan potensi ekonomi, kebijakan kemasan polos ini juga dapat menurunkan pendapatan negara. Sebab secara keseluruhan PP 28/2024 dan RPMK dapat menghilangkan potensi penerimaan perpajakan sebesar Rp 160, 6 triliun atau 7% dari total penerimaan pajak.

ADVERTISEMENT

Secara rinci, pemerintah bisa kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 95,6 triliun akibat penerapan kebijakan kemasan polos. Kemudian Rp 43,5 triliun dari penerapan larangan berjualan di sekitar lingkungan pendidikan. Ketiga, Rp 21,5 triliun dari pembatasan iklan rokok.

Sehingga menurut Andry kebijakan kemasan rokok polos tidak cocok untuk Indonesia seperti beberapa negara di dunia lainnya. Sebab sebagian besar negara yang menerapkan aturan itu pada dasarnya bukanlah negara penghasil tembakau ataupun menerima pajak besar dari rokok.

"Mayoritas negara dengan kebijakan kemasan polos bukanlah produsen tembakau, dan kontribusi sektor tembakau terhadap penerimaan pajak relatif kecil (rata-rata 1%)," terangnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads