Menakar Dampak Rencana Kemasan Polos Rokok

Menakar Dampak Rencana Kemasan Polos Rokok

Rista Rama Dhany - detikFinance
Selasa, 12 Nov 2024 11:50 WIB
Tumpukan rokok di etalase salah satu warung Madura di Surabaya.
Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Jakarta - Rencana pemerintah melakukan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (kemasan polos) dinilai dapat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional dan bisa menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tembakau.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa berdasarkan hasil kajian INDEF, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.

Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran. "Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk," ujar Andry di Jakarta, Selasa (12/11/2024).

Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, industri ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.

Lebih dari itu, Ia mengingatkan bahwa industri hasil tembakau adalah sektor yang besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini. "Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak," jelasnya.

Di sisi lain, Rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pun kian dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.

Pandangan itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. Ia menjelaskan penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sejatinya mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.

"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," tuturnya.

Hikmahanto menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, kebijakan ini dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor.

"Kita adalah negara penghasil tembakau, tetapi justru kebijakan ini bisa membuat produk kita terpinggirkan di pasar internasional," tambahnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta memperhatikan kepentingan pelaku usaha domestik yang berjuang untuk bersaing di pasar global. Salah satu poin penting yang disoroti Hikmahanto, kebijakan ini dapat merugikan pelaku usaha yang ingin membedakan produk mereka.

"Setiap pelaku usaha berhak untuk bersaing dengan cara menonjolkan identitas merek mereka. Jika identitas itu dihilangkan, bagaimana mereka dapat bersaing?" imbuhnya. (rrd/rir)


Hide Ads