Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) kini mendapat kritik keras dari berbagai kalangan.
Kebijakan ini dianggap sebagai langkah tersembunyi untuk mengimplementasikan agenda internasional, khususnya dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diatur oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
FCTC sendiri adalah perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan tembakau secara ketat di seluruh dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan langkah Kemenkes ini membuka celah bagi intervensi asing melalui hukum internasional. Menurutnya, dengan cara ini, pihak luar dapat mempengaruhi kebijakan Indonesia tanpa menggunakan metode kolonialisme, melainkan melalui perjanjian-perjanjian internasional.
"Intervensi asing saat ini dilakukan melalui jalur perjanjian internasional, bukan dengan cara-cara lama seperti kolonialisme," ungkap Hikmahanto, di Jakarta dikutip Senin (3/3/2025).
FCTC dianggap sebagai upaya negara-negara non-produsen tembakau untuk mengatur industri tembakau di negara-negara produsen. Hal ini didorong oleh WHO yang sering dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam kebijakan kesehatan global. Pandangan tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa Amerika Serikat memilih keluar dari WHO.
Hikmahanto menegaskan Indonesia harus berhati-hati dalam mengadopsi aturan FCTC, terutama mengingat industri tembakau yang sangat kompleks di Tanah Air. Ia mengingatkan bahwa banyak sektor yang bergantung pada industri ini, mulai dari petani tembakau hingga pedagang eceran, sehingga kebijakan yang salah bisa menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar.
"Pemerintah harus menjaga kedaulatan dan kebebasan dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal," ujarnya.
Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah meningkatnya peredaran rokok ilegal jika plain packaging diterapkan. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menunjukkan jumlah rokok ilegal yang ditindak terus meningkat setiap tahunnya.
Pada 2023, sebanyak 253,7 juta batang rokok ilegal berhasil ditindak, dan pada 2024 angkanya diperkirakan akan meningkat menjadi 10 juta batang lebih.
(rrd/rir)