Kemasan Rokok Mau Diseragamkan, Ini Pro Kontranya

Kemasan Rokok Mau Diseragamkan, Ini Pro Kontranya

Ilyas Fadilah - detikFinance
Kamis, 10 Jul 2025 10:12 WIB
Sejumlah minimarket di DKI Jakarta mulai menutupi pajangan produk rokok. Namun ada juga yang tetap membuka displaynya di tengah pro-kontra larangan memajang bungkus rokok.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Wacana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek menjadi sorotan. Meski diklaim sebagai bagian dari upaya perlindungan kesehatan masyarakat, kebijakan ini dinilai kurang tepat.

Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido menegaskan aturan ini tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 81/PUU-XV/2017, yang secara tegas menyatakan bahwa pengaturan terkait iklan dan promosi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden.

"Oleh karenanya kalau kita baca di Undang-Undang 17 Tahun 2013, aspek iklan dan promosi itu tidak begitu spesifik, bahkan hampir terlupakan. Bukan berarti karena DPR melupakan aspek itu, tetapi karena kaitannya dengan National Dignity Rule," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (10/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rido menjelaskan bahwa setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk regulasi, termasuk mempertimbangkan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan. Dalam konteks Indonesia, ekosistem pertembakauan merupakan komoditas strategis yang melibatkan jutaan tenaga kerja. Karena itu, menurutnya, pengaturan yang menyentuh aspek promosi dan kemasan seharusnya tidak diturunkan ke level Permenkes.

"Ketika itu hanya diturunkan dalam Rancangan Permenkes, bagi saya pengajar peraturan perundang-undangan, agak kesulitan menjelaskan sebenarnya putusan MK itu tindak lanjutnya dalam aspek apa. Ketika pertimbangannya memerintah kepada pembentuk peraturan perundang-undang, tentunya pasti adalah di DPR," papar dia.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa amanat untuk melakukan standardisasi kemasan rokok memang tercantum dalam PP 28/2024. Prosesnya akan dilakukan melalui harmonisasi dan diskusi publik.

"Jadi kalau kita lihat memang di PP 28/2024 itu ada penulisan untuk melakukan standardisasi. Di sana sudah tertulis ya. Jadi memang kita salah satunya melanjutkan amanah, karena kalau cuma tertulis standardisasi saja, orang belum tahu yang dimaksud itu seperti apa," katanya.

Namun, dari sisi industri, kebijakan ini tetap dianggap bermasalah. Ketua Umum GAPRINDO, Benny Wachjudi mempertanyakan dasar hukum dari kebijakan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa draf awal yang diterima pelaku usaha mengarah pada kemasan polos, sementara draf terbaru belum diterima. Menurutnya, bahkan jika hanya menyangkut warna, standardisasi kemasan tetap melanggar hak kekayaan intelektual.

"Karena di dalam kemasan itu kan ada terkandung desain ataupun hak cipta. Warna itu 'kan hak cipta," pungkas Benny.

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis, termasuk gambar, logo, nama, huruf, angka, dan susunan warna untuk membedakan produk. Dengan demikian, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dinilai bertentangan dengan perlindungan hukum atas merek dagang yang sah.

(fdl/fdl)

Hide Ads