Pertumbuhan Manufaktur Versi BPS Dikritik Ekonom, Ini Jawaban Kemenperin

Pertumbuhan Manufaktur Versi BPS Dikritik Ekonom, Ini Jawaban Kemenperin

Ilyas Fadilah - detikFinance
Rabu, 06 Agu 2025 19:00 WIB
Produk diagnostik kesehatan sangat dibutuhkan untuk mengetahui dengan cepat di lapangan apakah seorang terjangkit suatu penyakit atau terinfeksi virus seperti COVID-19.
Ilustrasi pabrik - Foto: detikcom
Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menanggapi kritik dari ekonom mengenai pertumbuhan industri pada kuartal II tahun 2025 yang dirilis oleh BPS tidak sejalan dengan hasil PMI manufaktur Indonesia yang dilansir oleh S&P Global.

Kinerja sektor industri pada kuartal II 2025 dinilai sudah sesuai dengan sejumlah data dan indikator yang valid seperti laporan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI BI), serta capaian investasi dan ekspor sektor industri.

"Bahwa angka pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri manufaktur yang dirilis oleh BPS sudah akurat," ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief di kantor Kemenperin, Rabu (6/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal ini tervalidasi melalui hasil IKI Kemenperin dan PMI BI (Bank Indonesia) yang menyatakan bahwa industri manufaktur selama kuartal II 2025 selalu di atas level 50 atau berada dalam fase ekspansif. Beberapa indikator lainnya, pada belanja modal investasi sektor manufaktur juga naik," tambah Febri.

ADVERTISEMENT

Menanggapi kritik ekonom yang mengacu pada data S&P Global , Febri meminta mereka tidak hanya menggunakan satu indikator. Pasalnya berdasarkan data BI serta Kemenperin, kinerja manufaktur Indonesia bergerak ke arah positif.

"Makanya kami menyampaikan, ekonom juga dilihat lah indikator-indikator yang dikeluarkan berbagai lembaga, termasuk dari Kemenperin dan Bank Indonesia. PMI BI kan ekspansif kan, berbeda sama standar yang dirujuk ekonom itu," sebutnya.

Merujuk data BPS, industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2025 mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,60% (year-on-year) atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat sebesar 5,12%.

Menurut Febri hal ini menunjukkan ketangguhan sektor industri manufaktur dalam menghadapi tekanan global dan membuktikan peran vitalnya sebagai motor penggerak perekonomian nasional.

Pada periode yang sama, industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi terhadap PDB nasional juga naik dari 16,72% pada kuartal II tahun 2024 menjadi 16,92% pada kuartal II tahun 2025.

"Capaian positif tersebut juga sejalan dengan IKI pada Juli 2025 sebesar 52,89, naik 1,05 poin dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,84, dan lebih tinggi 0,49 poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu," ujar Febri.

Tren positif ini mencerminkan optimisme dan ketahanan pelaku industri nasional di tengah tekanan global dan pelemahan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan China. Geliat pertumbuhan manufaktur tidak hanya tercermin dari angka statistik, tetapi juga dari aktivitas nyata di lapangan.

Pada semester I tahun 2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan telah melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dengan nilai investasi mencapai Rp 803,2 triliun.

"Dampak langsung dari ekspansi industri ini adalah penyerapan tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 303.000 orang. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disampaikan oleh kementerian lain maupun asosiasi pengusaha," tegasnya.

Febri menyatakan, Kemenperin berkomitmen untuk terus menjaga momentum pertumbuhan industri pengolahan sebagai fondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.

"Dengan kebijakan yang kurang mendukung manufaktur saja sudah mencapai pertumbuhan 5,60%. Apalagi jika kebijakan yang pro industri diberlakukan, tentu pertumbuhan manufaktur melesat jauh lebih tinggi lagi. Kebijakan pro industri dimaksud adalah kebijakan yang berpihak dan melindungi industri dalam negeri yang sangat penting guna membangkitkan kinerja manufaktur nasional secara berkelanjutan," bebernya.

Kebijakan pro industri antara lain pengendalian impor produk jadi, pengalihan pelabuhan masuk bagi produk jadi impor ke pelabuhan di Indonesia Timur, kemudahan pasokan bahan baku terutama bahan baku gas untuk industri tertentu, dan pengurangan kuota produk industri Kawasan Berikat masuk ke pasar domestik.

Febri menambahkan, Kemenperin tidak pernah menggunakan hasil PMI manufaktur sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan. Meski menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum, namun dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan PMI BI.

"Jumlah perusahaan industri yang jadi sampel rata-rata dalam IKI 3.100 perusahaan tiap bulannya sementara survey PMI S&P Global tidak lebih dari 500 perusahaan industri per survey. Jadi, kinerja manufaktur lebih akurat dengan IKI dan PMI BI dibandingkan dengan indikator kinerja manufaktur lainnya," terang Febri.

Selain itu, dengan IKI bisa diketahui kinerja masing-masing subsektor Industri Pengolahan Non Migas. IKI diolah oleh pakar statistik IPB dan divalidasi oleh ekonom UI. IKI dihimpun berdasarkan survei langsung kepada pelaku industri dari 23 subsektor manufaktur, mencakup aspek produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, hingga ekspektasi bisnis ke depan.

IKI dinilai lebih representatif untuk kepentingan kebijakan karena didasarkan pada data primer dan dianalisis dalam konteks kebutuhan nasional, tidak semata-mata mengikuti indikator global seperti PMI.

"IKI jauh lebih akurat dan komprehensif karena melibatkan responden lebih banyak, dan kami melengkapi dengan data IKI ekspor dan domestik, serta analisis yang mendalam terhadap tren dan tantangan aktual di lapangan," tutup Febri.

Simak juga Video 'Pertumbuhan Ekonomi Diragukan, Airlangga Tepis Isu Permainan Data':

(kil/kil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads