RI Disebut Kurang Gairah Adopsi Industri Hijau, Kalah dari Vietnam-China

RI Disebut Kurang Gairah Adopsi Industri Hijau, Kalah dari Vietnam-China

Andi Hidayat - detikFinance
Kamis, 14 Agu 2025 17:17 WIB
Amerika Serikat (AS) mengeluarkan undang-undang baru yang memberikan subsidi besar kepada produsen lokal terkait teknologi hijau. Hal itu membuat industri mobil Jerman mulai ketar-ketir. CEO Northvolt Peter Carlsson mengatakan bahwa di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA), Northvolt yang berbasis di Swedia dapat memperoleh hingga 800 juta euro ($836 juta) jika membangun pabrik baterai kendaraan listrik di AS.
Ilustrasi/Foto: Reuters
Jakarta -

Gairah mendorong transisi industri konvensional ke hijau yang dilakukan pemerintah disebut kurang berambisi. Di kawasan Asia, industri hijau Indonesia sendiri disebut tertinggal dengan beberapa negara tetangga.

Deputi Direktur The Prakarsa, Victoria Fanggidae, membandingkan akselerasi industri hijau RI dengan Vietnam. Dari sisi otomotif misalnya, Vietnam jauh lebih unggul dari Indonesia mengingat ekosistem pasar kendaraan listrik di negara tersebut jauh lebih hidup.

Ia menjelaskan, pemerintah Vietnam memberikan berbagai insentif sesuai dengan tingkat pendapatan konsumen. Sehingga, seluruh kelas ekonomi di Vietnam dapat mengakses produk kendaraan atau pun mengkonversi kendaraan konvensional ke listrik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Vietnam, (industri) kecil-kecil EV sudah mulai hidup, diberilah insentif ini. Ini langsung dia memakai means tested juga untuk beralih konsumen dengan batas pendapatan sekian, subsidi-nya pun dia gradasi. Sehingga yang pendapatan lebih rendah mendapatkan subsidi untuk konversi ke kendaraan listrik," ungkap Victoria dalam acara Talk Show 30 Tahun Indef di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (14/8/2025).

ADVERTISEMENT

Sementara di Indonesia, terang Victoria, penerima insentif kendaraan listrik lebih banyak berasal dari perusahaan jasa transportasi online. Hal itu dikarenakan pembelian kendaraan listrik yang dilakukan perusahaan tersebut jauh lebih banyak ketimbang masyarakat secara individu.

Sementara persaing industri hijau global, Victoria menyebut China masih merajai kapitalisasi pasar dengan persentase sebesar 90%. Sementara Indonesia, masih berada di bawah 5%. Padahal secara minat produk, Indonesia memiliki pasar tersendiri untuk produk industri hijaunya, salah satunya melalui hilirisasi nikel.

Victoria juga menyebut, pemerintah masih perlu banyak membenahi regulasi dan tata kelola sejalan dengan penempatan insentif yang tepat sasaran dan tidak hanya terpusat pada satu paket kebijakan besar.

"China punya pasar, dia melakukan itu. Kita juga punya pasar sebetulnya. Tapi kita belum melakukan itu dengan ambisi yang belum cukup besar sesuai kapasitas.
Ini negara besar dengan ambisi cukup kecil," tutupnya.




(fdl/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads