Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut produksi benang Polyester Oriented Yarn (POY) dan Draw Textured Yarn (DTY) masih di bawah kebutuhan industri tekstil. Oleh karena itu, impor tetap diperlukan agar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat berjalan dengan lancar.
Apindo menyatakan, keputusan pemerintah terkait penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) merupakan langkah yang tepat untuk menjaga keberlangsungan industri TPT nasional.
Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto, mengungkapkan bahwa sebelum kebijakan ini ditetapkan, pihaknya telah menerima masukan dari 101 perusahaan tekstil yang membutuhkan bahan baku POY dan DTY. 101 perusahaan TPT tersebut menolak BMAD yang diajukan APSyFI dan anggotanya karena kebutuhan industri tekstil turunan jauh lebih besar dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri POY.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apindo juga mengundang APSyFI dan API dalam pembahasan yang sama dan diambil kesimpulan bahwa permintaan nasional terhadap POY mencapai sekitar 10 kali lipat dari hasil produksi lokal. Jika impor dikenakan pungutan tambahan, maka harga bahan baku akan melonjak dan produk tekstil dalam negeri menjadi tidak kompetitif. Hal ini malah berpotensi memicu PHK massal di sektor padat karya.
Anne juga menyoroti sikap Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang dianggap tidak konsisten. Di satu sisi meminta perlindungan industri lokal, namun di sisi lain sebagian anggotanya masih melakukan impor bahan baku. Selain itu, menurutnya, kualitas dan spesifikasi produk POY dalam negeri juga belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan industri tekstil semi hilir.
"Pada akhirnya, kebijakan pemerintah terkait tidak diteruskannya BMAD atas POY dan DTY saat ini paling adil dan seimbang, karena melindungi industri padat karya sekaligus kepentingan masyarakat luas,"ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (26/8/2025).
Pihaknya menilai bahwa produksi POY dan DTY nasional saat ini masih jauh di bawah kebutuhan industri tekstil turunan di dalam negeri. Oleh karena itu, saat ini impor tetap diperlukan agar industri TPT dapat berjalan dengan lancar dan PI dan Pertek yang menjadi kebijakan Kemenperin dan Kemendag saat ini adalah kebijakan yang tetap untuk memberikan harmonisasi tata niaga industri TPT nasional.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pentingnya transparansi, kepatuhan administratif, serta konsistensi strategi bagi industri tekstil nasional dalam menjaga daya saing, khususnya pada sektor hulu di bawah naungan Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI).
Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), kepatuhan pelaporan industri anggota APSyFI tercatat masih rendah. Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, dari 20 perusahaan anggota, hanya 15 yang melaporkan aktivitas industrinya, sementara 5 perusahaan lainnya absen atau lalai.
"Masih ada perusahaan besar anggota Apsyfi yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal, kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional," kata Febri dalam keterangan resminya.
Febri menjelaskan, dalam data Kemenperin tercatat adanya anomali pada kinerja industri anggota APSyFI. Di tengah permintaan asosiasi agar pemerintah memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor oleh anggotanya sendiri.
Data menunjukkan, volume impor benang dan kain oleh perusahaan anggota APSyFI meningkat lebih dari 239% dalam satu tahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).
"Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri," ujarnya.
Tonton juga video "Mendiktisaintek Brian Dilantik jadi Kepala Badan Industri Mineral" di sini:
(acd/acd)