Kementerian Kehutanan RI menegaskan produk wood pellet asal Indonesia yang diekspor dengan dokumen V-Legal/Lisensi FLEGT telah memenuhi standar Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Dengan begitu, produk tersebut dipastikan berasal dari sumber yang legal, berkelanjutan, serta sesuai hukum yang berlaku.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto, dalam pertemuan dengan perwakilan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) serta Control Union Asia Pasific Region di Jakarta. Pertemuan tersebut digelar menyusul isu dari sejumlah LSM yang menuding pengembangan industri wood pellet menyebabkan deforestasi.
Erwan menegaskan, pemerintah berkomitmen menjaga kelestarian hutan lewat penerapan SVLK. "Pemerintah punya komitmen untuk memastikan produk hasil hutan berasal dari izin yang sah dan tidak menyebabkan deforestasi melalui SVLK," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Subdit Sertifikasi dan Pemasaran Hasil Hutan Kemenhut, Tony Rianto, menambahkan SVLK tidak hanya menekankan aspek legalitas, tetapi juga aspek sosial, ekologis, dan bisnis.
"SVLK Indonesia menjamin wood pellet berasal dari sumber legal, lestari, dan mendukung transisi energi bersih. Ini adalah upaya pemerintah untuk menjaga hutan dan menghindarkan deforestasi," jelasnya, Kamis (4/9/2025).
Sejak diluncurkan pada 2009, SVLK telah menjadi kerangka utama keberlanjutan pengelolaan hasil hutan Indonesia. Skema ini meliputi enam aspek utama, yaitu legalitas, transparansi dan traceability, kepatuhan standar internasional, keterlibatan multi pihak, keberlanjutan lingkungan, dan daya saing global. SVLK juga diakui internasional lewat ISO 17065:2012, ISO 19011:2018, serta FLEGT VPA dengan Uni Eropa.
Selain itu, Kementerian Kehutanan juga menegaskan pemanfaatan hutan dilakukan secara terukur. Dari total daratan Indonesia seluas 191,4 juta hektare, sekitar 125,7 juta hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kawasan tersebut terbagi menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hanya hutan produksi serta area penggunaan lain (APL) yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha dengan izin resmi.
"Hutan lindung dan konservasi sama sekali tidak boleh ditebang. Jadi, tidak setiap penebangan pohon berarti deforestasi. Semua harus melalui izin berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan skema sah lainnya," tegas Tony.
(rrd/rrd)