Industri hasil tembakau (IHT) kembali diguncang gelombang pengurangan tenaga kerja, kali ini menimpa Gudang Garam, salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. Perusahaan tersebut terpaksa merumahkan sebagian karyawan di tengah tekanan fiskal yang semakin berat, memicu kekhawatiran publik atas nasib ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menegaskan pelemahan ekonomi bukanlah faktor utama yang menghimpit industri rokok.
"Penyebab utamanya adalah tekanan fiskal. Hampir tiap tahun terjadi kenaikan tarif cukai yang tidak sebanding dengan peningkatan daya beli. Studi kami menunjukkan produk hasil tembakau semakin tidak affordable akibat kenaikan tarif yang lebih tinggi dari daya beli masyarakat," katanya, di Jakarta, Selasa (9/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Fajry menjelaskan kebijakan fiskal yang agresif turut mendorong pergeseran konsumsi ke rokok ilegal yang jauh lebih murah daripada rokok legal. Hal ini menciptakan tekanan berlapis bagi produsen legal yang selama ini patuh terhadap regulasi.
"Hal ini kemudian menyebabkan pabrikan yang selama ini patuh seperti Gudang Garam harus mengurangi produksinya, yang salah satu konsekuensinya adalah pengurangan tenaga kerja," ucapnya.
Pengurangan tenaga kerja tidak hanya terjadi di Gudang Garam. Banyak perusahaan rokok lainnya juga mengalami penurunan kapasitas produksi, yang berdampak langsung pada pengurangan tenaga kerja. Mengingat besarnya serapan tenaga kerja di sektor ini, kondisi tersebut dinilai perlu penanganan segera.
Sebagai solusi, Fajry mendukung usulan moratorium kenaikan tarif cukai rokok selama tiga tahun. Menurutnya, kebijakan ini akan memberikan ruang bagi industri tembakau sekaligus menjaga keberlangsungan jutaan lapangan kerja.
"Kalau tujuannya untuk menjaga lapangan kerja maka moratorium kenaikan tarif cukai adalah solusi yang paling tepat," tegasnya.
Dengan adanya moratorium, industri diharapkan dapat mempertahankan kapasitas produksinya tanpa harus menanggung beban fiskal yang terus meningkat. Ia juga menyoroti konsistensi arah kebijakan fiskal dalam RAPBN 2026, di mana pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan pajak dan akan fokus pada peningkatan kepatuhan administrasi.
"Peningkatan kepatuhan seharusnya diterjemahkan dengan pemberantasan rokok ilegal, bukan dengan kenaikan tarif," ujarnya.
Ia menekankan penegakan hukum terhadap rokok ilegal jauh lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara dibandingkan terus menaikkan tarif cukai.
"Kalau pertimbangannya adalah penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan perlindungan pekerja maka moratorium kenaikan tarif yang disertai penindakan rokok ilegal adalah opsi yang paling tepat," tandasnya.
Gelombang pengurangan tenaga kerja di industri rokok menjadi alarm bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan fiskal. Moratorium cukai dan penegakan hukum terhadap rokok ilegal dinilai sebagai kombinasi kebijakan paling rasional untuk menjaga keseimbangan antara penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan perlindungan tenaga kerja.
(rrd/rrd)