Produk-produk Impor Masih Banjiri RI, Apa Dampaknya?

Produk-produk Impor Masih Banjiri RI, Apa Dampaknya?

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Senin, 03 Nov 2025 10:26 WIB
Sejumlah pembeli memilih pakaian bekas atau yang lebih familiar dengan Thrifting yang dijual di salah satu kawasan di Jakarta, Selasa (14/3/2023). Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mendorong agar pedagang barang bekas hasil impor ilegal untuk beralih menjual produk alternatif lain.
Ilustrasi Barang Impor/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Kementerian Perindustrian mencatat industri dalam negeri khususnya subsektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menghadapi tantangan serius. Pada Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Oktober 2025 misalnya, subsektor tekstil berada pada level 49,74 poin atau mengalami kontraksi.

Telah terjadi peningkatan volume impor produk tekstil signifikan, terutama impor produk tekstil hilir yang melebihi kebutuhan pasar domestik. Kemenperin menilai kondisi ini dapat dikatakan sebagai banjir impor. China disebut jadi salah satu negara asal barang impor tersebut.

Direktur Paramadina Asia Pacific Institute (PAPI), Peni Hanggraini, menekankan pentingnya memahami dinamika hubungan Indonesia-China secara historis dan strategis. Ia menyinggung hubungan bersejarah sejak era Laksamana Zheng He pada abad ke-15, ketika diplomasi Tiongkok masih dilakukan melalui pelayaran dan pertukaran budaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulu hubungan Indonesia-Tiongkok terjalin lewat perdagangan dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, dan rempah. Kini hubungan itu berubah menjadi kerja sama di bidang investasi, perdagangan, dan teknologi. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia memanfaatkannya tanpa kehilangan kemandirian," ujar Peni dalam diskusi Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia, ditulis Senin (3/11/2025).

Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto menyoroti dampak serius dari banjir produk China terhadap perekonomian nasional. Ia menilai fenomena ini tidak hanya mengancam industri lokal dan pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM), tetapi juga dapat menimbulkan ketergantungan struktural yang mengganggu kemandirian bangsa.

ADVERTISEMENT

"Barang murah asal China memang menarik konsumen, tetapi di balik itu ada ancaman ketergantungan yang bisa melemahkan kemampuan Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri," kata Johanes.

Dalam pemaparannya, Ekonom UI Mohammad Dian Revindo menjelaskan bahwa murahnya harga produk asal China bukan tanpa alasan. Menurutnya, China sengaja menerapkan strategi pelemahan mata uang renminbi (RMB) terhadap dolar AS agar produk ekspornya tetap kompetitif di pasar global. "Pemerintah China menahan apresiasi RMB melalui intervensi pasar dan cadangan devisa besar, sehingga harga ekspor tetap rendah dan daya saing global terjaga," ujarnya.

Selain itu, Revindo menyoroti lemahnya serikat buruh di China yang membuat biaya tenaga kerja dapat ditekan. "Ironisnya, meski China adalah negara sosialis, kekuatan buruh justru sangat lemah. Ini membuat biaya produksi di China sangat efisien," tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa program Belt and Road Initiative (BRI) menjadi instrumen utama China dalam memperluas pasar ekspor dan menyalurkan kelebihan produksi industri. Melalui proyek-proyek besar seperti infrastruktur dan logistik, termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung, China memperkuat jalur perdagangan yang efisien dan strategis.

Lebih jauh, Revindo mengungkapkan praktik dumping yang dilakukan China di pasar Indonesia. "Produk garmen, bahan kimia seperti frit dan lisin, hingga kaca dijual jauh di bawah harga domestik. Praktik dumping ini membuat produk China laku keras, tetapi menekan industri dalam negeri," katanya.

Dampaknya, pelaku usaha nasional kesulitan bersaing. Revindo menilai, jika fenomena ini terus berlanjut, akan muncul risiko meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK), defisit perdagangan, dan ketergantungan impor. "Ketergantungan terhadap satu negara, apalagi dalam sektor strategis, adalah ancaman bagi kemandirian ekonomi Indonesia," tegasnya.

Ia juga menyoroti meningkatnya impor ilegal asal China yang berpotensi merusak stabilitas ekonomi. Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu bersikap tegas dengan memperkuat pengawasan impor, menegakkan regulasi perdagangan, serta mendorong daya saing industri nasional.

"Indonesia harus mampu bersaing melalui kebijakan industri yang konsisten, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta riset dan inovasi teknologi. Kita bisa belajar dari strategi Tiongkok, tapi jangan sampai kehilangan arah dan jati diri nasional," ujar Revindo.

Sementara itu, Yen Yen Kuswati dari KADIN menambahkan bahwa kerja sama ekonomi dengan China tidak sepenuhnya negatif. "Investasi China telah membawa manfaat, terutama di sektor infrastruktur dan energi. Namun kita juga harus waspada terhadap dampak sosial-ekonomi, seperti ketergantungan impor, perubahan pola konsumsi, dan kesenjangan ekonomi," ujarnya.

Laode Ikrar Hastomi dari Kementerian Perindustrian menegaskan pentingnya penguatan industri manufaktur dalam menghadapi dominasi produk impor. Namun, ia juga mengingatkan bahwa defisit perdagangan Indonesia dengan China masih tinggi. "Pada 2024, ekspor Indonesia ke China mencapai 62,44 miliar dolar AS, sedangkan impor mencapai 72,73 miliar dolar AS. Artinya, kita masih rugi sekitar 10 miliar dolar," jelasnya.

(igo/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads